Translator: Qirin
Editor: Rion
Chapter 2 - Kelas Memasak Dengan Shimizu-san (part 4)
“Selanjutnya, bawang bombay…..”
Ekspresi Shimizu-san terlihat agak gelisah.
“Setelah kubis selesai, maka selanjutnya bawang bombay.”
Aku sudah memotong wortel dan iga babi, jadi perkerjaan kita akan selesi saat bawang bombay selesai dipotong.
“Kalau begitu, aku akan memotongnya.”
Benar aku tidak memberitahunya sebelumnya, tapi aku harus mengajarinya cara menyesuaikan tangannya saat menggunakan pisau.
“Shimizu-san, apa kau tau apa itu bentuk tangan kucing?”
“Tangan kucing?”
“Ketika kamu menggunakan pisau, tangan yang memegang bahan makanan harus berbentu seperti tangan kucing agar kamu tidak melukai dirimu sendiri.”
“Jadi bagaimana bentuk tangan kucing yang kamu maksud itu?”
Tentu saja, jari-jarinya hanya harus sedikit dilipat, tetapi, manurutku, sulit untuk menyampaikan gagasan itu hanya dengan mengatakan kepadanya. Aku membentuk tangan kiriku menjadi bentuk tangan kucing dan mengulurkannya di depan Shimizu-san.
“Seperti ini tangan kucing. Shimizu-san, cobalah juga.”
Shimizu-san melihat tangan kiriku dan membuat tangan kirinya menjadi bentuk tangan kucing dengan gerakan yang kaku.
“Seperti ini?”
Kalau melihat bentuk tangan dan tingkahnya saat ini, Shimizu-san tampaknya malah menyertainya dengan pose seperti kucing, karena dia manaruh ‘tangan kucing’ di samping wajahnya.
Aku rasa dia sama sekali tidak menyadarinya, tetapi aku tidak ingin megatakan apa pun tentang hal ini, karena dia mungkin akan marah jika aku mengataknnya.
“Hei, apa ini salah?”
“Eh, tidak, tidak apa-apa.”
Aku menjawabnya dengan tergesa-gesa. Aku harap pikiranku tidak sampai kepadanya.
“Berhati-hatilah saat kamu memotongnya. Dan jangan lupa ‘tangan kucingnya’.”
“Baik!”
Pisau Shimizu-san diturunkan ke bawang yang sudah dibelah dua.
“Sudah dipotong, begini, apa tidak apa?”
“Ya, tidak apa-apa. Tapi kamu mungkin lebih baik mengubah posisi tangan kucingmu sedikit, agar lebih aman untukmu.”
“Di mana aku harus meletakkan tanganku?”
Aku rasa, dia tidak akan memahaminya kalau aku menyuruhnya meletakkan ujung jari tengah dan telunjuk tangan kirinya yang terlihat di atas perut pisau.
Aku tidak tahu bagaimana menggambarkannya. Mungkin akan lebih cepat jika ku tunjukkan secara langsung.
“Aku akan memotong bawang, jadi bisakah kamu melihatnya?”
“Ya!”
*****
Kemudian aku mencoba beberapa kali untuk menjelaskan kepada Shimuzu-san, bagaimana cara memotong bawang, tetapi dia seperti tidak memahaminya.
“Apa yang harus dilakukan—“
“Aku tahu aku salah, tapi aku tidak tau bagaimana cara melakukanya benar…..”
Kata-kata yang sulit. Aku pikir dia tidak bisa meniruku hanya dengan melihatku. Maka satu-satunya cara yang tersisa adalah dengan benar-benar memahaminya.
“Shimizu-san ijinkan aku menyentuh tanganmu sebentar…..”
Sebelum aku sempat menyelesaikannya, Shimizu-san dengan cepat meletakkan pisaunya dan menarik tangannya.
“K-kau, apa yang ingin kau lakukan padaku?”
“aku ingin memegang tangan Shimizu-san untuk menunjukkan padamu di mana harus meletakkan tangan kucingmu. Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman.”
Aku tidak terlalu keberatan menyentuh orang lain, tapi kurasa ada banyak orang yang tidak suka disentuh. Shimizu-san aku minta maaf.
“Bukannya aku tidak menyukainya…..”
Shimuzu-san sepertinya mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengar suaranya yang pelan.
“…..Baiklah”
“Shimizu-san?”
“Aku bilang tidak apa. Jadi peganlah tanganku dan ajari aku.”
“Apa kamu yakin?”
“Aku tidak akan mengulanginya lagi. Tunjukkan saja padaku bagaimana cara untuk melakukannya sekarang.”
Shimizu-san jauh lebuh polos dari yang ku kira. Jika dia sudah mengatakannya, aku tidak akan ragu.
“Aku mengerti. Jika Shimizu-san tidak keberatan, maka aku akan melakukannya.”
Aku bergerak cepat di belakang Shimizu-san.
“Shimizu-san, aku akan memegang tanganmu.”
“Lakukan!”
Perlahan-lahan aku melatakkan tanganku di atas tangan Shimizu-san.
“Hyaaah~~”
Aku mendengar jeritan tak terduga, dan mata anggota kelompok langsung tertuju pada kami.
“…..Ini bukan pertunjukkan.”
Shimizu-san melototi anggota kelompok lain di sekitar kami. Dengan suaranya sebagai pemicunya, semua orang dengan cepat mengalihkan pandang mereka.
Sepertinya mereka berpura-pura tidak mendengar teriakannya tadi.
“Apa kamu baik-baik saja? Shimizu-san, apa kamu yakin tidak terlalu memaksakan dirimu sendiri?”
“Tidak masalah. Aku hanya lengah tadi. Aku tidak akan lengah lagi.”
“Baiklah. Akanku ulangi lagi.”
Aku tidak berpikir itu bisa membuatnya lengah jika aku memegangnya setalah aku memperingatinya terlebih dahulu, tapi jika dia bilang begitu, kurasa itu memang benar. Aku memegang tangan Shimizu-san lagi, tapi kali ini tidak ada jeritan.
“…..Jadi apa yang kamu ingin aku lakukan?”
Suara Shimizu-san sedikit lebih tenang dari sebelunya karena suatu alasan.
Aku tidak bisa melihat ekspresinya karena aku berada di belakangnya, tapi aku bertanya-tanya apa ini imajinasiku bahwa tangannya tampak berwarna merah terang.
“Ambil pisaunya. Lalu letakkan pisau itu di bagian yang ingin kamu potong.”
“Baik.”
Shimizu-san meletakkan pisau di bagian yang akan dia potong selanjutnya seperti yang ku instruksikan.
“Dan setelah itu, letakkan tanganmu di sini.”
Tangan Shimizu-san bergerak di atas bawang.
“Oke. Kalau begitu, ayo kita potong.”
“Jika tanganku menghalangi, haruskah aku melepaskannya?”
“…..teteplah seperti ini.”
Dengan begitu, Shimizu-san menurunkan mata pisaunya dan berhasil memotong bawang bombay itu.
“Itu bagus. Apakah kamu tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya?”
“Pisaunya ada di san, jadi tangan kiriku ada di sini?”
Shimizu-san menggerakkan tangan kirinya bersamaan dengan tangan kananku.
“Ya, ku pikir itu sudah bagus. Setelah kamu tau itu, kurasa kamu siap untuk memulainya.”
“…..bukan masalah…..”
“Apa?”
“Ku bilang itu bukan masalah, jadi biarkan saja seperti ini.”
“Eh, oke? Aku mengerti.”
Aku tidak yakin bagaimana perasaan Shimizu-san, tetapi dia mungkin masih memiliki beberapa kecemasan tentang penggunaan pisau.
Aku telah memutuskan untuk terus membantunya sampai Shimizu-san mengatakan bahwa dia tidak lagi membutuhkannya.
“Ku pikir aku akan melanjutkan ini.”
“Ya, lanjutkan.”
Suaranya terdengar sedikit senang. Dengan suara itu, pisaunya mulai bergerak.
“Apa ini baik-baik saja?”
“Ya. Tidak apa-apa.”
Shimizu-san mengeceknya sambil melanjutkan pekerjaannya sedikit demi sedikit.
Saat dia menghentikan pisaunya, tiba-tiba aku melihat telinga Shimizu-san yang memerah seperti tomat.
“Shimizu-san, apakah kamu baik-baik saja? Telingamu memerah.”
“Hah? I-itu tidak merah!”
“Tidak, telingamu merah. Aku tidak punya cermin, jadi aku tidak bisa menunjukkannya padamu sekarang.”
“Eh, itu karena…..”
Meskipun begitu dekat, bisikan Shimizu-san tidak sampai telingaku.
“Pokonya, aku baik-baik saja! Ayo, kita sudah terlambat, jadi ayo kita lakukan ini dengan cepat.”
“Tidak apa-apa jika Shimizu-san baik-baik saja. Mari kita lanjutkan pekerjaan kita.”
Pada akhirnya, tanganku tidak melepaskan tangan Shimizu-san sampai kami selesai memotong semua bawangnya.
*****
“Shimizu-san, aku senang tumisan daging dan sayuran kita terasa enak.”
Saat istirahat makan siang setelah kelas memasak, kami menyantap tumisan daging babi dan sayuran yang talah kami masak.
Setelah aku dan Shimizu-san selesai memotong bahan-bahannya, anggota kelompok yang lain menumis dan membumbui daging dan sayuran dengan baik, dan hasil tumisannya pun terasa enak.
“Yah, kurasa ini cukup enak.”
Shimizu-san, yang makan di sebelahku, tampak puas dengan kualitas daging dan sayuran yang ditumis.
“Aku senang mendengarnya.”
“…..Hondo, bolehkah aku menanyakan sesuatu?”
Shimizu-san, yang telah menyelesaikan tumisannya, memalingkan wajahnya ke arahku.
“Ada apa?”
“Bagaimana rasanya memasak denganku?”
Aku bertanya-tanya apa yang dia maksud dengan pertanyaan ini, lalu aku melihat wajah Shimizu-san lagi, terlihat semacam kecemasan halus di wajahnya.
Mungkinkah Shimizu-san merasa bahwa dia tidak membantu?
Bagaimana aku harus menjawabnya dan menghilangkan kecemasannya?
“Sejujurnya, aku cukup takut pada awalnya. Aku takut kalau Shimizu-san akan melukai dirimu sendiri.”
“Ughh.”
Shimizu-san memalingkan matanya dariku seolah-olah dia sedang memikirkan sesuatu.
“Tapi aku senang karena Shimizu-san mau memasak bersamaku sampai akhir.”
Shimizu-san menolah ke arahku, dan mata kami bertemu.
“Shimizu-san berkerja sangat keras, dan sangat menyenangkan bekerja sama denganmu. Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu memasak denganku lagi di kelas memasak berikutnya?”
Aku mengutarakan dengaan lantang semua yang kupikirkan. Aku ingin tahu apa yang dipikirkan Shimizu-san tentang hal itu. Setelah menunggu sekitar 10 detik, Shimizu-san membuka mulutnya.
“Jika…..”
“Jika?”
“Jika kau bersikeras seperti itu, kurasa k-kita bisa melakukannya bersama lagi lain kali.”
“Fufahaha.”
“K-kenapa kau tertawa!”
Oh, ya ampun. Aku tidak bisa menahan tawa.
“Tidak, aku takut kamu akan mengatakan tidak. Yah, aku menantikan waktu berikutnya, Shimizu-san.”
“O-oke. Mau bagaimana lagi kan....”
Shimizu-san menjawab sambil menyilangkan tangannya.
Aku rasa aku akan menantikan pelajaran memasak berikutnya, pelajaran memasak kali ini terasa sedikit lebih menyenangkan dari biasanya.
Post a Comment