NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Higehiro : Airi Gotou - Volume 2 - Chapter 13 [IND]

 



Translator : Konotede

Editor : Konotede


Chapter 13 : Kenangan 


"Apa? Rumahku?"

Melihatku terkejut, Sayu menggelengkan kepalanya sambil tersenyum masam.

"Ya. Untuk yang terakhir, aku hanya ingin menikmati kenangan saat kita masih tinggal bersama..."

"Ah, begitu? Kenangan, ya?"

Aku berpikir sambil berkeringat aneh.

Aku sedang berpikir untuk ikut Sayu kemanapun dia ingin pergi. Aku masih ingin melakukan itu, dan jika dia ingin pergi ke rumahku, kurasa aku harus membawanya ke sana. Tapi...sudah kuduga, aku merasa akan ada masalah...

Mungkin karena merasakan aku sedang berpikir keras, Sayu tertawa.

"Tenang aja, aku tidak akan melakukan hal yang aneh, kok."

Setelah mendengar kata-kata itu, aku tertegun sejenak.

Sebaliknya, aku merasa menjadi lebih tenang.

"Itu sih yang ingin kukatakan...."

Ketika aku mengatakan hal ini, Sayu tertawa terbahak-bahak.

Kami naik ke kereta dan perlahan-lahan berbicara tentang bagian pameran di museum yang paling menarik bagi satu sama lain. Kami berbicara sedikit, lalu diam.

Saat itu merupakan waktu yang menenangkan, seolah-olah kami berdua memahami bahwa 'kencan sudah berakhir' dan kami perlahan-lahan bergerak menuju tujuan akhir.

Aku tiba di stasiun terdekat dan berjalan menyusuri jalan "rumah"ku.

Dalam perjalanan, aku melewati tiang telepon tempat pertama kali aku bertemu Sayu. Sayu melirikku dan tertawa. Aku juga tertawa, seolah tertarik dengan hal itu. Anehnya, meskipun aku merasa nostalgia, aku tidak merasakan perasaan apapun.

Aku tiba di rumah dalam waktu singkat, memutar kunci, dan membuka pintu. Setelah mempersilahkan Sayu masuk, aku pun masuk juga.

Melepas sepatunya, Sayu menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Ah!"

"Rasanya nostalgia banget, ya?"

Sayu melihat ke arah dapur, dan dia mengatakan sesuatu.

"Benar saja, aku masih merasa ini adalah rumah orang lain."

"Begitu, kah?"

Aku mengangguk diam.

"Itu adalah bukti kalau kamu sudah dewasa."

Menanggapi perkataanku, Sayu hanya mengangkat sudut mulutnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Sayu berjalan ke ruang tamu dan membuka pintu kulkas. Kemudian, ketika dia melihat apa yang ada di dalamnya, dia mengatakan, “Wow!”

"Beneran isinya bahan-bahan masakan!"

"Kan aku sudah bilang kalau aku masak sendiri."

"Yoshida-san benar-benar melakukannya, ya? Bukannya aku meragukannya sih, tapi aku tidak punya banyak imajinasi saat Yoshida-san lagi masak."

"Yah, itu benar."

Mengabaikan keluhanku, Sayu membuka kulkas dan freezer satu demi satu, dan melihat isinya dengan penuh minat.

Saat aku melihat Sayu dari kamar, tiba-tiba aku teringat sesuatu.

"Oh, iya..."

Aku menuju ke lemari dan mengambil baju sederhana dari dalam.

"Lihat ini..."

Saat aku menyerahkan baju di tanganku ke Sayu, dia melihatnya dengan terkejut.

"Harusnya Yoshida-san membuangnya."

Saat aku mendengarnya, aku menggelengkan kepalaku secara refleks.

"Tidak mungkin aku membuangnya."

"Kenapa?"

Saat ditanya langsung, aku kehilangan kata-kata.

Kenapa?

"Kenapa, ya?"

Saat Sayu kembali ke Hokkaido, kupikir dia tidak akan pernah kembali ke Tokyo. Aku benar-benar berpikir jika dia bisa kembali ke kehidupan normalnya, dia akan bisa menjalani hidupnya sendiri, dan kemudian dia tidak perlu datang menemuiku lagi...

Aku sendiri tidak mungkin bisa pakai baju wanita, dan tentunya lebih masuk akal jika aku membuangnya.

Meski begitu, jika ada alasan untuk menyimpannya.

"Kurasa penyebabnya adalah kenangan..."

Aku hanya mengucapkan kata-kata yang terlintas dalam pikiranku. Kata-kata itu terasa lebih seperti kata-kata hatiku daripada yang kuduga.

Kupikir aku mendengar Sayu menarik napas dalam-dalam setelah mendengar kata-kataku. Dan bahkan aku bisa melihat warna sedih di wajahnya.

"Begitu, ya? Kenangan, ya?"

Sayu menatap kemeja di tanganku beberapa saat. Kemudian, dia menarik napas dalam-dalam.

"Kalau Yoshida-san tidak memakainya, aku akan mengambilnya, nih."

"Aku tidak mungkin memakainya. Ukurannya juga tidak pas, loh."

"Ah, benar juga."

Sayu tertawa dan kemudian, perlahan-lahan dia memeluk kaus itu dengan kedua tangannya.

Kemudian, dengan suara kecil, dia mengatakan...

"Aku juga, pasti akan mengingat kenangan ini..."

"Eh?"

"Nee, Yoshida-san. Kencan hari ini sangat menyenangkan!"

Sayu tersenyum polos.

"Aku juga merasa kencan hari ini sangat menyenangkan, kok."

"Apa Yoshida-san juga merasa sangat senang?"

Mengatakan hal ini dengan senyum menantang, Sayu melanjutkan, "Jujur saja!"

"Sayu sudah tahu selama ini, kan?"

"Tentu saja ~ Aku bukan gadis yang sederhana, tahu?"

"Ya, aku tahu, kok."

"Kalau Yoshida-san merasa senang, gimana..."

Sayu mengatakan hal ini dan menatapku dengan mata basah, ekspresinya sangat dewasa, memancarkan rasa perhitungan yang bisa dirasakan dari orang yang dewasa. Aku tidak bisa tidak merasakan sensasi yang aneh. Sungguh, dia telah menjadi wanita dewasa.

Aku melangkah maju dan berdiri di depan Sayu. Kemudian, aku memegang kedua tangannya. Sayu, yang terkejut, kembali menunjukkan ekspresi kekanak-kanakan.

"Kamu sudah menjadi wanita dewasa yang luar biasa ya, Sayu..."

Aku berpikir dari mana aku harus mulai berbicara. Setelah beberapa saat, aku memutuskan untuk mengatakan semuanya.

"Kamu sudah menjadi orang dewasa yang cantik. Kamu sangat menarik bagiku, kamu juga penuh dengan feminitas, dan kamu terlihat cantik bagiku." Saat aku mengucapkan kata-kata ini, Sayu tersipu malu dan tampak bingung.

"Y-Yoshida-san...?"

"Aku merasa kamu benar-benar berbeda sekarang daripada saat aku memperlakukanmu seperti anak kecil."

"Apa benar begitu...?"

Sayu terlihat gelisah. Tidak ada jejak dari ketenangan yang dia miliki beberapa saat yang lalu.

"Makanya, sekarang aku sangat bingung..." kataku.

Saat aku mengatakan kata-kata itu, rasanya seolah-olah pikiran batinku akhirnya keluar. Seolah-olah benang-benang yang kusut di dalam hatiku menjadi kata-kata dan terurai satu per satu.

"Kurasa aku sudah menyadari pesonamu sejak kamu mulai tinggal di sini. Tapi, dengan memperlakukanmu seperti anak kecil, aku melarikan diri darimu. Karena Sayu masih di bawah umur. Aku merasa terintimidasi karena merasakan feminitas pada seseorang yang seharusnya 'dilindungi'. Percaya bahwa dengan tidak mengakui bagian dari diriku ini. Bahkan sampai sekarang, aku merasa itu tidak salah."

Aku berbicara tanpa mengalihkan pandangan dari Sayu. Menatap matanya, dia tampak takut sekaligus ingin mendengar lebih banyak. Aku yakin kedua emosi ini pasti ada di matanya.

"Tapi, karena itu, ketika kamu muncul di depanku seperti ini, sebagai orang dewasa, aku sangat bingung. Aku merasa terganggu saat mengetahui kalau kamu masih menyukaiku. Aku selalu menjadi tipe orang yang mudah jatuh cinta pada seseorang yang dekat denganku. Aku menyadari kalau aku jatuh cinta pada mereka, dan kemudian aku tidak bisa berhenti memikirkan mereka. Kupikir itulah yang namanya 'cinta'. Jadi, ini adalah pertama kalinya aku jatuh cinta dengan seseorang yang begitu dekat denganku, seseorang yang begitu menarik."

"Orang yang menarik" yang selalu dekat denganku. Tentu saja, yang aku maksud adalah Sayu.

Ketika kami mulai hidup bersama, aku mulai menyadari pesona Sayu. Tapi, semua itu dibayangi oleh tujuanku yang lebih besar, yaitu "mengembalikan gadis yang cantik ini ke kehidupannya yang normal." Bahkan sebelum aku bisa memastikan perasaanku padanya, aku sengaja memendamnya.

Aku memendamnya sebelum aku bisa memastikannya dengan benar. Aku merobek lembar jawaban sebelum aku bisa menuliskan jawabannya. Bahkan setelah sekian lama, aku tidak ingat bagaimana cara menyelesaikan masalah itu. Ini semua salahku.

"Begitu aku tidak lagi menjadi walimu, aku tidak tahu bagaimana berinteraksi denganmu. Aku terjebak di antara perasaan cinta yang sudah lama ada dan perasaanku untuk merawat Sayu, aku merasa bahagia melihatmu tumbuh dewasa, dan aku berpikir kamu lucu. Pada akhirnya, aku mencoba melarikan diri dari "cinta" ku. Aku mencoba meyakinkan diriku sendiri kalau aku hanya mempercayai apa yang sudah ada di sana." 

Aku merasa ada banyak hati di dalam diriku ini.

Aku selalu menyukai Gotou-san. Aku sangat ingin selalu bersamanya. Aku tidak tahu mengapa kami tidak bisa menjalin hubungan, meskipun dia juga menyukaiku. Aku merasa marah pada Gotou-san karena membuatku menunggu.

Namun, aku juga bisa memahami apa yang dikatakan Gotou-san, dalam beberapa hal. Sayu telah membangun kembali hidupnya. Dia telah menemukan cinta di sepanjang jalan, dan dia datang menemuiku lagi atas keinginannya sendiri. Apakah aku bisa mengabaikan cintanya? Tentu saja tidak. Aku tahu itu. Tapi ketika aku mencoba untuk menghadapi perasaan itu secara langsung, aku merasa seperti menjadi gila.

Aku mencintai Gotou-san. Tapi Sayu juga penting bagiku. Aku ingin mencintai Gotou-san. Tapi aku juga tidak ingin menyakiti Sayu.

Semua "hati" ku berdebat dengan volume yang sama, jadi apa yang harus aku pilih? Apa pilihan yang "benar" itu?

"Tapi..."

Aku berkata dengan suara bergetar.

"Semua orang sudah mengajariku..."

Aku orang yang menyedihkan. Aku baru menyadari bahwa, di usiaku sekarang, aku masih membutuhkan bantuan seseorang untuk mengambil keputusan.

Seorang wanita yang aku temui saat mencari pekerjaan menuntunku pada cinta yang baru.

Seorang gadis SMA yang aku temui suatu hari tiba-tiba mengajariku kesulitan dan nilai dari mengukir hidupku sendiri.

Seorang junior yang nakal mengajariku pentingnya hidup jujur dengan perasaanku.

Seorang senior yang saya temui lagi mengajarkanku bahwa ada hal-hal yang tidak akan pernah bisa digantikan setelah hilang.

Seorang teman sekamar dan sahabat mengajariku bagaimana menghadapi keinginanku sendiri.

Seorang rekan kerja yang menyenangkan mengajarkanku bahwa ada pilihan untuk tidak menyerah pada keinginan yang benar-benar penting.

Dan kemudian...

Sayu yang dewasa. Sekali lagi, dia mengajariku bagaimana menghadapi orang-orang yang aku sayangi.

Setiap kali aku diajari sesuatu, kupikir aku memahaminya, tapi itu hanya berantakan di dalam hatiku. Itu menjadi kalimat yang tidak berarti, dan itu menghilang sedikit demi sedikit dengan setiap langkah yang kuambil, tanpa pernah melebur ke dalam diriku.

Tapi kurasa, sebagian dari kalimat itu tetap ada di suatu tempat di dalam diriku, dan akhirnya... akhirnya. Setelah sekian lama, itu terhubung ke dalam diriku.

Setelah banyak keajaiban, dan dengan dorongan dari ajaran orang-orang yang aku temui... Akhirnya aku bisa memilih. Aku dapat memilih sambil menerima rasa sakit yang hebat di dadaku.

"Hari ini, kamu pergi berkencan denganku. Dan akhirnya, aku mengerti."

Aku menyadari kalau aku menangis. Meskipun pandanganku kabur, aku tahu bahwa aku sedang menatap mata Sayu.

Sayu tersenyum lembut.

"Sayu, aku..."

"Ya?"

Sayu membalas uluran tanganku dengan lembut.

"Aku ingin kamu bahagia sebagai orang dewasa..."

"..."

"Tapi..."

Sebuah isak tangis keluar.

Aku takut untuk mengucapkan kata terakhir. Aku tidak menyangka memilih sesuatu akan begitu menakutkan hingga membuatku gemetar.

Dadaku terasa sakit. Tapi aku harus mengatakannya. Jika tidak, ini tidak akan berakhir.

"Aku..."

Pada akhirnya, aku tidak membutuhkan "kebenaran".

Aku akhirnya menyadari bahwa keinginanku akan kebenaran telah menutupi hatiku yang sebenarnya selama ini.

Pada akhirnya, semua orang pasti memilih dengan egois.

"Kamu sudah dewasa..."

Aku terisak.

"Dan kamu masih akan terus tumbuh dewasa..."

Aku menangis.

"Aku tidak ingin membuatmu bahagia dengan tanganku sendiri..."

Aku merasa seperti ada duri besar yang menancap di hatiku telah keluar.

Sayu menggenggam tanganku dengan erat.

"Ya..."

Sayu menatapku dan tersenyum.

"Aku sudah menduganya..."

Aku menangis dan Sayu tertawa.

Kenapa aku selalu menjadi lemah dan mudah menangis pada saat-saat yang paling penting? Aku memikirkan hal itu, tapi aku tidak bisa berhenti sekarang.

Sayu memelukku saat aku berlutut dan dengan lembut membelai kepalaku.



"Sayu, maaf..."

"Tidak. Terima kasih karena sudah memikirkannya."

Aku tidak bisa berhenti menangis.

Aku mencintai Sayu. Aku sangat mencintainya. Aku ingin dia bahagia. Aku ingin dia tumbuh dewasa, menjadi lebih menarik, dan menjalani hidupnya dengan percaya diri. Aku ingin melihat itu. Aku ingin melihatnya dari dekat. Aku ingin menyayanginya. Saya ingin mewujudkan mimpinya.

Aku tahu semua perasaan ini adalah nyata.

Tapi itu bukanlah "cinta."

Tak peduli seberapa dewasa dan menawannya Sayu di dalam hatiku, aku masih memikirkan Gotou-san. Semakin aku berusaha menekannya, semakin aku memikirkannya di Sendai, bahkan di tengah-tengah kencan kami.

Itu sebabnya.

Tidak peduli seberapa besar aku mencintainya. Aku menyadari kalau aku tidak bisa membuat Sayu bahagia seperti yang dia inginkan.

Aku menghadapi hatiku dan memberikan jawaban. Sesederhana itu, tapi itu sangat menyakitkan, pahit, dan menyedihkan.

"Yoshida-san?"

Sayu berkata, memegangi kepalaku sambil terus menangis.

"Cinta itu memang sulit, kan?"

Suara Sayu terdengar lembut, dan entah kenapa, itu membuatku semakin menangis.

"Ini adalah cerita yang aneh. Aku kembali ke Tokyo karena aku menyukaimu, Yoshida-san. Aku ingin bertemu denganmu lagi, aku juga ingin kamu jatuh cinta padaku, dan kita pun berkencan, tapi di saat yang sama, aku juga memikirkan hal ini."

Sayu melonggarkan cengkeramannya di kepalaku. Dengan wajah yang masih terlihat sedih, aku mengangkat kepalaku untuk menatap Sayu.

Dia menatapku dengan senyum gelisah.

"Kupikir akan aneh jika Yoshida-san jatuh cinta padaku."

"..."

Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Sayu pasti sudah mengerti semuanya.

"Perasaanku ke Yoshida-san adalah nyata. Aku memahami dengan jelas kalau ini adalah cinta. Aku benar-benar ingin kamu jatuh cinta padaku juga. Tapi, di suatu tempat di dalam hatiku, mungkin di mana kenangan-kenangan saat aku dirawat Yoshida-san, bagian itu selalu bersikeras kalau 'Yoshida-san harus memilih Gotou-san'. Aku tahu ini akan menjadi seperti ini."

Setelah mengatakan semua ini, Sayu tersenyum.

"Aku lega akhirnya menjadi seperti ini..."

"Sayu..."

"Nee, Yoshida-san, Aku menyukaimu. Sejak kita tinggal bersama di sini, aku selalu menyukaimu."

Sayu mengatakannya dengan berani. Aku juga mengangguk.

"Ah, jadi memang begitu, ya?"

"Ya, itu benar. Jadi..."

Sejenak, matanya goyah.

Sayu menatapku dan perlahan mengatakan,

"Bolehkah aku mendengar jawabanmu?"

Aku mengerti betul arti dari kata-katanya.

Saat pertama kali Sayu mengaku padaku, aku menjawab, "Aku tidak tertarik sama anak kecil."

Itu bukan kebohongan. Tapi itu... bagaimanapun juga, jawaban yang tidak tulus yang diberikan tanpa menghadapi perasaanku sendiri. Hanya saja, pada saat itu, dia memaafkanku untuk itu.

Dengan kasar aku menyeka air mataku sambil menarik napas dalam-dalam dan menatap matanya dengan cara yang sama seperti dia menatap mataku.

Sambil menarik napas dalam-dalam, aku menjawabnya.

"... Aku punya orang lain yang kusuka. Karena itu, aku tidak bisa membalas perasaan Sayu."

Mendengar jawabanku, Sayu pun menarik napas dalam-dalam.

Kemudian, Sayu menunjukkan senyum dan mengangguk.

"Baiklah, aku mengerti."

Segera setelah Sayu mengatakan ini... kami berdua merasa tubuh kami kehilangan kekuatan. Bersama-sama, kami menjatuhkan diri ke lantai.

Setelah beberapa detik hening, Sayu tertawa kecil.

"Ah, aku ditolak, ya?"

Tidak lama setelah dia mengatakannya dengan suara keras, dia langsung berdiri tegak dan meregangkan badannya.

"Haa, sekarang akhirnya aku merasa bisa berdiri sendiri."

"Sayu..."

"Ayolah, sampai kapan kamu akan terus terlihat murung? Ini semua berkat kamu loh, Yoshida-san."

"Kamu bilang apa tadi?"

"Ini adalah kedua kalinya aku melihat Yoshida-san menangis. Dan kedua kalinya, Yoshida-san menangis karena aku? Aku sangat senang, sungguh."

Sayu mengatakan hal ini sambil tersenyum dan mengulurkan tangannya padaku. Aku meraih tangan Sayu dan menarik diriku yang merasakan campuran emosi yang rumit.

Saat aku berdiri, Sayu menatapku . Dia menatapku dengan senyum menantang.

"Yoshida-san, kamu..."

"Apa?"

"Kamu sangat orangnya sangat serius, sangat kuno, tapi kamu keliatan ganteng!"

"Hah?"

Aku terkejut dengan hinaannya yang tiba-tiba. Air mata yang tadinya mengalir begitu deras akhirnya berhenti.

"Aku tidak mengharapkan Yoshida-san untuk membuatku bahagia! Aku hanya ingin Yoshida-san menjadi bagian dari kebahagiaanku. Begitu juga sebaliknya. Aku ingin aku menjadi bagian dari kebahagiaanmu juga!"

Sayu mengatakan ini sambil tertawa kecil.

Aku ingin mengatakan, "Sayu kan sudah bahagia..." tapi...aku berhenti. Sayu sudah mengetahui semuanya. Dia bilang dia ingin menjadi bagian dari kebahagiaanku, tapi...dia menginginkan sesuatu yang lebih istimewa daripada yang kupikirkan. "Spesial" itu adalah satu-satunya hal yang tidak bisa kuberikan pada Sayu. Kami berdua tahu itu sekarang.

"Aku akan sangat sedih habis ini, tapi aku pasti akan baik-baik saja."

Sayu mengatakan ini, dan dia sengaja mengangkat salah satu sudut mulutnya.

"Aku sudah dewasa sekarang!"

Aku tidak bisa menahan diri untuk membuat lelucon untuk menanggapi hal itu.

"Ya, sungguh."

Ketika aku mengangguk, Sayu cemberut dan berkata, "Yoshida-san tidak akan menggodaku, kan?" Tapi sungguh, tidak ada yang perlu digoda. Dia sudah jauh lebih dewasa dari yang kukira. Begitu banyak sehingga aku merasa malu.

Sayu mengambil tasnya.

"Baiklah, aku mau pulang. Maaf karena terjebak di sini karena ditolak!"

"Aku akan mengantarmu ke stasiun."

"... Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja. Ah, aku cuci muka dulu."

"Haha, tentu saja. Silahkan."

Sayu tertawa dan mengangguk.

Aku bergegas ke kamar mandi, mencuci wajahku dengan air dan mengeringkannya dengan handuk.

Aku keluar dari kamar mandi dan melirik Sayu yang berdiri di pintu masuk, tetapi dia benar-benar melihat ke dinding dengan ekspresi tenang.

Dia mungkin memasang tampang yang kuat, tapi...dia pasti sudah mengambil keputusan sejak lama. Mungkin sejak dia memutuskan untuk datang ke Tokyo.

"Baiklah, ayo pergi."

Saat aku mengatakan hal itu, Sayu mengangguk dengan penuh semangat dan keluar dari pintu terlebih dahulu. Aku segera mengenakan sepatu dan mengikuti Sayu keluar. Setelah mengunci pintu dan berkata kepada Sayu "Hari sudah gelap, jadi hati-hati saat di tangga!", kami menuruni tangga dan keluar dari pintu masuk apartemen.

Tiba-tiba, aku melihat seseorang yang berjarak beberapa meter.

Begitu aku mengenali orang itu, aku dan Sayu berhenti di tempat karena terkejut.

Orang yang menatap kami dengan mata lebar itu adalah...Gotou-san.

Post a Comment

Post a Comment