NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Higehiro : Airi Gotou - Volume 2 - Chapter 16 [IND]

 



Translator : Konotede

Editor : Konotede


Chapter 16 : Masa Depan


"Apa ini jalan menuju ke taman itu?"

Asami yang berjalan di sampingku, berbicara padaku dengan suara malu-malu. Aku pikir aku cukup merepotkan, tapi, aku mengangguk dengan tenang.

"Ya, aku ingin pergi ke sana sebentar."

"Hmm, baiklah."

Asami mengangguk dengan ekspresi ambigu dan terdiam.

Setelah Yoshida-san pergi, aku terkejut mendapati diriku sendiri mencoba menghubungi Asami.

"Apa kamu bisa kesini sekarang?"

Ketika aku mengirim pesan, pesan itu langsung terbaca, dan dia membalas, "Aku langsung otw kesana!" Aku pergi menjemput Asami di depan rumahnya, tapi meskipun dia baru saja keluar dari rumah, Asami terengah-engah, dan aku senang karena dia berlari dari kamarnya ke pintu.

Setelah berjalan berdampingan dalam keheningan selama beberapa saat, Asami akhirnya tidak bisa menahan diri dan bertanya padaku.

"Um...itu...gimana kencanmu dengan Yoshida-san?"

Aku tersenyum dan menjawab Asami.

"Sudah berakhir. Karena itulah aku meneleponmu. Terima kasih sudah datang begitu cepat, ya."

"U-um... tidak apa-apa, tapi..."

"Aku ditolak."

Ketika aku mengatakannya dengan santai, Asami menatapku dengan mata yang lebar, lalu menunduk dengan sedikit canggung.

"Kamu sudah melakukan yang terbaik."

"Ya. Terima kasih."

Sekali lagi, keheningan.

Kami sampai di lereng yang mengarah ke taman di atas bukit.

"Entah bagaimana, kamu lebih segar dari yang kukira, ya?"

Asami bertanya padaku dengan senyum kikuk.

"Ya, aku merasa segar."

Asami menjawab jawabanku dengan suara yang sedikit bergetar, "Hmm..." dan terdiam lagi, terlihat canggung.

Karena dia begitu gelisah, kupikir mungkin aku harus terlihat lebih sedih. Tapi, itu cuma kebohongan, jadi aku memutuskan untuk bersikap wajar.

Saat kami berjalan mendaki lereng yang agak curam secara berdampingan, kami bisa mendengar nafas satu sama lain dengan sangat baik. Suara angin yang menyibak dedaunan dan rerumputan, suara langkah kaki kami, lalu suara napas kami. Suara-suara itu begitu keras sehingga kupikir tidak apa-apa untuk diam.

Ketika kami mencapai puncak bukit, kami tiba di taman puncak bukit, yang terlihat persis sama seperti saat itu. Aku menyukai pemandangan yang terbuka begitu kami tiba di taman, karena dikelilingi oleh pepohonan saat mendaki bukit.

Aku bergegas ke halaman rumput dan berbaring di tempat itu.

"Ah! Kamu tidak boleh tidur diatas rumput!"

Asami bergegas menghampiri saya. Aku sedikit senang mendengar suara asli Asami untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

"Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Aku ingin tiduran sekarang! Perasaan itu lebih penting."

Ketika aku mengatakan itu, Asami mengangguk dan berkata, "Oh." dan berbaring di sampingku, seolah-olah hal itu wajar.

Sambil menatap langit berbintang bersama-sama, aku merasa bernostalgia dengan masa-masa itu. Aku selalu membicarakan perasaan terdalamku dengannya di sini.

"Ah!"

Ketika aku mengeluarkan suara keras, aku tahu kalau tatapan Asami tertuju padaku.

"Cintaku sudah berakhir..."

"Sayu-chan..."

"Tapi aku tahu ini akan terjadi. Aku benar-benar merasa lebih segar daripada yang aku pikirkan. "

Itu tidak bohong. Hatiku benar-benar "segar" saat ini.

Bukan berarti aku tidak sedih. Hanya saja, tidak ada seorang pun kecuali aku yang tahu betapa aku selalu memikirkan Yoshida-san di Hokkaido. Bahkan ketika aku pergi ke sekolah dan berbicara dengan anak laki-laki di kelasku, wajah Yoshida-san akan muncul di kepalaku. Tentu saja, aku harus bisa bekerja keras untuk ujianku setahun yang terlambat demi impianku, tapi aku juga ingin melihat Yoshida-san lagi. Ketika aku menonton film romantis dan ada adegan yang sedikit erotis, aku akan bersemangat membayangkan Yoshida-san mencium atau memelukku. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu dengan seseorang yang kusukai. Dan Yoshida-san adalah orang pertama yang membuatku merasakan perasaan romantis... Ah, aku mulai merasa sedikit sedih sekarang.

Bagaimanapun juga, ketika aku berada di Hokkaido, aku memiliki lebih banyak perasaan untuknya daripada saat aku berada di rumah Yoshida-san. Tapi, aku juga telah mempersiapkan diri untuk waktu yang sama.

Aku tahu kalau Yoshida-san menyukai Gotou-san. Dan aku tahu sekali kalau dia menyukai seseorang, dia tidak akan pernah mengalihkan perasaannya kepada orang lain. Kupikir aku juga jatuh cinta dengan dirinya yang seperti itu.

Karena itu, kupikir aku datang ke sini untuk "menyelesaikan semuanya".

"Um, kamu tidak perlu jadi kuat kalau di depanku..."

Asami berkata dengan pelan sehingga aku tidak bisa menahan tawa.

"Apa tidak apa-apa untuk menangis?"

"Kalau kamu ingin..."

"Aku tidak akan menangis. Walaupun menyedihkan, tapi aku merasa ini bukanlah sesuatu yang menyedihkan."

Mulut Asami setengah terbuka karena terkejut mendengar kata-kataku.

"Yoshida-san menolongku dan mengubahku, Aku mengagumi dirinya yang seperti itu. Dia adalah cinta pertamaku. Tapi kamu tahu, itu semua hanyalah untuk kenyamananku sendiri."

Saat aku mengatakan itu, Asami berkata dengan nada berdebat.

"Tentu saja, semua orang seperti itu saat jatuh cinta. Kamu tidak perlu mendapatkan izin dari seseorang untuk menyukai mereka."

"Ya, aku tahu, tapi orang-orang yang kutemui di Tokyo semuanya... sangat dewasa."

Aku mengatakan itu dan menyipitkan mata. Ketika aku mengatakan "dewasa," aku benar-benar memikirkan banyak orang.

"Karena itu, aku ingin mereka menjadi lebih kekanak-kanakan dan meraih apa yang mereka inginkan. Jika itu akan membuat mereka bahagia, aku ingin mereka meraihnya tanpa ragu-ragu."

"Sayu-chan, apa kamu tidak keberatan dengan itu?"

"Ya, karena..."

Aku berhenti sejenak dan menjawab sambil menggigit bibirku.

"Mereka sudah mengubahku. Karena mereka mengubahku, aku sadar..."

"Apa?"

Asami bertanya padaku dengan suara datar. Asami benar-benar pendengar yang baik di saat-saat seperti ini.

Aku mengangguk sedikit dan menjawab.

"Menginginkan sesuatu berarti hampir kehilangannya. Aku sudah berusaha untuk tidak menginginkan apapun sejak kecil. Aku tahu ibuku tidak mengharapkan apa-apa dariku, jadi setidaknya aku berusaha untuk tidak mengecewakannya. Namun di SMA, aku akhirnya bertemu dengan seorang "teman", dan di sana, untuk pertama kalinya, aku menginginkan sesuatu. Aku menginginkannya, dan aku malah kehilangannya. Dan di sana, aku menyadari kalau aku sudah kehilangan segalanya. Lalu, aku takut kehilangannya. Aku sebenarnya memiliki lebih banyak hal yang aku inginkan, tapi aku takut kehilangannya bahkan sebelum mendapatkannya. Dan kemudian, aku terjatuh."

Mata Asami tertuju padaku. Aku tidak perlu menatapnya untuk mengetahui kalau dia sedang memasang ekspresi sedih.

"Orang-orang di sekeliling Yoshida-san sudah mengubahku. Mereka mengajariku kalau tidak apa-apa untuk menginginkan lebih. Mereka membuatku berpikir kalau mungkin ada sesuatu yang benar-benar aku inginkan setelah semua hal yang telah aku hilangkan. Aku akhirnya merasa kalau aku bisa saja menginginkan dan kehilangan sesuatu. Jadi..."

Aku memejamkan mata dan bernapas perlahan. Aku bisa melihat perasaan ini sangat kuat di dalam diriku. Pikiranku diterjemahkan ke dalam kata-kata dalam bentuk yang sama.

"Aku ingin orang-orang yang menyadarkanku juga seperti itu. Lalu, aku...aku yakin aku bisa melanjutkan hidup tanpa penyesalan."

Ketika aku mengatakan itu, Asami menghela napas. Kali ini aku melihat Asami. Asami sedang menatap langit berbintang dan tersenyum pahit.

"Sayu-chan, kamu tuh terlalu kuat. Tidak normal untuk bersikap tenang setelah patah hati, tahu?"

"Aku sudah siap. Cuma itu saja. Dan kamu tahu, Asami..."

Aku pikir sudah waktunya. Sedikit perasaan jahat dan setengah-setengah ingin menarik hati Asami.

Asami menatapku dengan panik.

"Eh, apa?"

"Hmm? Asami juga..."

"Hentikan! Jangan deh!"

"Hehe, kamu sudah cukup "dewasa" dariku, kan?"

Asami memutar matanya, mengerti apa yang ingin kukatakan.

"Ih! Kamu jahat deh!"

"Apa kamu membencinya?"

"Aku menyukainya, sih."

Saat aku tertawa, Asami tersenyum pahit, tapi dia tetap tertawa. Aku bertanya lagi, dengan jelas.

"Asami juga bahagia, kan? Kenapa kamu tidak mau bilang padaku?"

"Tidak apa-apa. Sejujurnya, aku tidak begitu memahaminya. Aku soalnya belum pernah jatuh cinta sebelumnya."

"Benarkah?"

"Tidak apa-apa! Aku merasa sedikit rumit, tapi aku lebih terkejut karena Sayu-chan ditolak."

"Kamu sangat baik, ya?"

"Udahlah! Apa yang mau kamu lakuin mulai sekarang?"

Asami berkata begitu untuk mengubah topik pembicaraan. Dan, seolah-olah ingin mengatakan sebuah rahasia, dia mendekat padaku dan merendahkan suaranya.

"Masa depanmu...! Aku benar-benar ingin tahu tentang apa yang akan dilakuin Sayu-chan mulai sekarang..."

"Hmm, mungkin seperti itu."

Aku sudah memutuskan pekerjaan masa depanku. Aku belum tahu apakah aku bisa melakukannya, tapi aku sudah mulai mempersiapkannya.

"Ini rahasia, loh?"

"Eh! Kenapa?"

Di bawah kerlap-kerlip bintang, kami berkumpul bersama dengan penuh semangat dan berbicara tentang masa depan.

Aku berpikir kalau aku bisa membicarakan masa depan dengan penuh semangat berkat orang-orang di Tokyo, termasuk Yoshida-san dan Asami, serta kakak laki-lakiku dan ibuku.

Cinta memang sudah berakhir, tapi seseorang bisa saja kehilangan dan menginginkan sesuatu yang baru.

Seperti yang pernah dikatakan Yoshida, mungkin saja aku akan jatuh cinta dengan seseorang yang baru selama aku masih hidup. Aku tidak bisa membayangkannya sekarang, tapi aku yakin itu pasti akan terjadi.

Bahkan jika itu yang terjadi, aku ingin Yoshida-san menemuiku lagi setelah aku mendapatkan pekerjaan dan menjadi orang dewasa yang terhormat.

Bagiku, Yoshida-san adalah seorang dermawan, orang yang mirip seperti orang tua... dan cinta pertamaku. Dalam beberapa tahun, dia mungkin akan menjadi orang lain bagiku.

Hal yang sama mungkin juga akan terjadi pada Yoshida-san dan begitulah sejarah manusia.

Aku harus bergerak menuju masa depan. Jadi, aku tidak boleh menangis.

Dadaku terasa sakit, tapi ada perasaan puas di dalamnya.

Perasaan itu sangat aneh, dan aku hanya tertawa saat berbicara dengan Asami.

Post a Comment

Post a Comment