NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Jishui Danshi to Joshikousei - Volume 1 - Chapter 2.2 [IND]

 


Translator: Ryu:z

Editor: Rion

Chapter 2 - Si Tukang Masak dan Tetangga Sebelah (part 2)



 Gadis-gadis SMA adalah makhluk yang suka berfoto selfie dengan makanan yang berkilauan dan lembut, meskipun rasanya tidak terlalu penting. 

Aku tidak tahu apakah akan baik-baik saja jika aku menyajikan hidangan seperti sauté daging babi yang terkesan seperti hidangan orang dewasa kepada gadis SMA seperti itu?

Sementara aku merenungkan hal itu, gadis yang dimaksud tiba-tiba mengintip ke dalam kulkas di sebelahnya yang berisi daging segar di toko daging dan berteriak, "Onii-san, Onii-san! Lihat ini! Daging! Kalau ayam bisa digoreng, daging babi bisa jadi tonkatsu, dan daging sapi bisa dibuat steak! Semuanya terlihat sangat lezat, bukan?"

Begitulah. aku telah terkecoh dengan sebutan 'gadis SMA' dan lupa bahwa gadis ini adalah tipe gadis yang sangat bersemangat, bahkan ketika dia makan makanan buatan seorang pria sepertiku. 

Bahkan, makanan yang dia bawa waktu itu adalah bento panggang yang jauh dari kata elegan.

Aku merasa lega dan mengambil potongan daging babi loin seberat 100 gram seharga 98 yen sebagai panduan menu. "Aku berencana membuat sauté daging babi dengan jahe hari ini, bagaimana menurutmu?" 

TL/N: menurut kurs saat ini(8-9-2023) 98 yen=10.188,10 Rupiah Indonesia


"Sauté Jahe! Bagus sekali! Itu makanan favoritku!" jawab gadis itu dengan senang.

Aku memastikan sekali lagi, dan Asahi-san tanpa ragu mengangguk. Dia meletakkan tangannya di pipi dan mengeluarkan suara "hmm" saat dia berbicara tentang betapa lezatnya sauté daging babi dengan jahe.

"Benar-benar enak, bukan?... Daging yang lembut dipadu dengan saus manis pedas, aroma jahe yang segar setelah makan, dan oh, jangan lupakan bawang yang digoreng bersama daging! Hanya bawang putih itu saja sudah bisa membuat ku makan tiga porsi nasi!"

"A-aku setuju." aku setuju, meskipun sebenarnya aku bukanlah tipe orang yang makan tiga porsi nasi hanya dengan bawang. Bahkan sejauh yang kuingat, dalam sauté daging babi yang pernah kubuat, aku tidak pernah menggunakan bawang... Tapi jika dia berharap begitu, mungkin sebaiknya aku juga membelinya.

"Selain itu, yang tidak boleh dilupakan adalah kol! Jika kamu menggulung kol yang diiris tipis bersama daging, rasanya akan semakin enak karena ada sensasi yang renyah! Hanya dengan kol yang tercampur dengan lemak daging dan saus saja sudah bisa dimakan tiga porsi nasi, bukan?"

"A-aku setuju," aku memutuskan sekali lagi untuk setuju. Tampaknya aku harus membeli kol juga, bukan hanya bawang. Tapi makan tiga porsi nasi hanya dengan sayuran pendamping saja, sungguh luar biasa, atau lebih tepatnya bagaimana mungkin? Apa dia penggemar berat nasi?

Jadi, aku meletakkan daging babi loin ke dalam keranjang belanjaan, dan berikutnya, aku menuju ke bagian sayuran. 

Aku biasanya jarang membeli sayuran hijau seperti kubis atau selada. Aku khawatir tidak akan mampu menghabiskannya sendiri, apalagi sayuran-sayuran semacam itu seringkali lebih mahal daripada bawang atau wortel, jadi aku cenderung tidak membelinya. 

Aku lebih berpikir bahwa lebih baik makan daging murah daripada membeli sayuran mahal.

(Setengah kubis 98 yen... ku kira ini sudah cukup.)

Aku meletakkan produk yang kulihat ke dalam keranjang belanja dan mengangguk. Meskipun aku sendiri mungkin akan kesulitan menghabiskannya dalam ukuran setengah kubis ini, hari ini ada siswi SMA yang mengaku bisa makan tiga porsi nasi hanya dengan kubis. Jadi, mungkin aku tidak perlu lagi khawatir tentang hal itu.


"Sekarang, bagaimana dengan membuat sup miso? Asahi-san, apa ada sesuatu lagi yang ingin kamu makan?"

"Aku baik-baik saja! Oh, dan aku yang akan membayar untuk bahan-bahan makanannya!"

"Tidak, biarkan aku yang membayar."

"Te-tetapi, aku ingin membelanjakanmu..."

Ketika aku menolak sarannya itu, Asahi-san melihat ku dengan tatapan sedih, aku tersenyum ringan dan berkata, "Tidak usah khawatir." 

Sejujurnya, aku akan senang jika bisa mengambil beban ini dengan biaya yang kurang dari 1000 yen. Tapi aku tidak akan pernah merasa nyaman jika gadis SMA yang lebih muda seperti ini mengeluarkan dompet untuk membayar makanan yang akan aku makan. 

Itu bukan karena aku ingin membuat kesan yang baik di depan gadis yang manis, aku tidak memikirkan alasan yang dangkal seperti itu. Tidak pernah.

Sambil meminta maaf, aku membawa Asahi-san ke bagian kasir.

Setelah kami menyelesaikan pembayaran, kami berjalan pulang ke apartemen yang hanya berjarak sepuluh menit berjalan kaki dari supermarket. 

Di balik langit yang mulai gelap, matahari yang hampir tenggelam terlihat dengan jelas.


"Ehehe~ aku sangat menantikan makanan yang akan kamu buat, Onii-san!"

Dengan langkah ringan yang cepat, gadis itu berjalan ke depan sambil tersenyum saat melihat ke belakang. Dengan bayangan panjang yang berdansa di latar belakang matahari terbenam, dia terlihat cantik dan imut.

"Oh iya, ngomong-ngomong, sejak kapan Onii-san mulai memasak sendiri?"

"Aku mulai memasak sendiri sejak aku mulai tinggal sendiri saat masuk universitas. Sudah sekitar setahun yang lalu."

"Wah, benarkah!? Dan Onii-san bisa membuat makanan yang enak seperti itu, mungkinkah Onii-san sebenarnya seorang jenius...?"

"Tidak, tidak ,tidak aku bukan jenius. Serius apa sih yang kamu katakan?"

Aku memberikan komentar kepada Asahi-san yang bertanya dengan binar di matanya. 'Jenius' baginya sepertinya diawali dengan standar yang terlalu rendah. 

Tapi Asahi-san, dengan mata berbinar, melihatku dengan penuh semangat.


"Bisa memasak sendiri itu keren dan itu membuatku iri! aku selalu tidak pandai dalam hal itu..."

"Maksudku? tidak perlu terlalu khawatir tentang kemampuan memasak."

Demikianlah komentarku sambil mengoreksi apa yang dikatakannya tentang keahlian memasak.

"Oh, benarkah!? Jadi, apakah aku bisa berdiri di atas api dan menggoyangkan wajan sambil membuat nasi goreng tanpa memikirkannya?" 

"Maaf, aku tidak pernah berpikir kita akan berbicara sejauh itu."

Meskipun 'jenius' dan 'lezat' bisa digunakan dengan mudah, standar untuk menjadi 'seseorang yang bisa memasak' tampaknya sangat tinggi baginya. Apa yang dia bayangkan dari memasak sendiri di kompor rumah tangga dengan daya rendah?

"Sebenarnya, 'menggoyangkan wajan' mungkin terlalu sulit, tapi memasak sendiri sebenarnya tidak terlalu sulit. Tentu saja, walaupun kadang itu bisa merepotkan."

"Benarkah? Apakah aku akan bisa melakukannya juga?" 

"Tentu saja, kamu bisa. Jika kamu ingin membuat makanan sejenis yang aku buat, kamu bahkan bisa melakukannya dalam satu hari."

"Hahaha! kamu benar-benar lucu!"

(Tapi saya serius loh)

Asahi-san tampaknya merasa bahwa ucapanku aku hanyalah candaan, tetapi sebenarnya aku memang tidak yakin sejauh mana kemajuan keterampilan memasakku dalam setahun terakhir. 

Pengetahuan tentang bahan makanan, keterampilan memasak, dan variasi menu sebenarnya tidak banyak berubah. 

Aku tidak terlalu memperhatikan rasa makanan, jadi selama bisa membuat sesuatu yang cukup enak untuk dimakan, aku merasa cukup puas.


"Nanti bisakah kita mencoba memasak bersama?" 

"Tentu, kita bisa mencobanya. Karena kamu akan melihat betapa mudahnya memasak dalam satu hari!" 

Saat kami berbicara, kami akhirnya tiba di apartemen. 

Kami masuk melalui pintu depan, naik tangga dalam ruangan, dan menuju ke apartemen nomor 206 yang berada di ujung lantai dua.

"Asahi-san, maukah kamu menunggu di ruanganmu sebentar? Masih terlalu awal untuk makan malam."

Sambil memeriksa layar beranda ponselnku, aku berkata seperti itu kepada gadis tersebut. Waktu saat itu adalah sekitar pukul 17:30. aku kelaparan setelah bekerja paruh waktu, tetapi aku tidak yakin apakah Asahi-san juga merasa lapar.

Namun, gadis SMA dan juga tetangga ku itu tidak terlihat ragu-ragu sama sekali dan mengelengkan kepalanya.


"Tidak, aku tidak berbelanja jadi aku tidak membawa barang apa pun... Terlebih lagi, aku terlalu bersemangat untuk makan malam, jadi tidak mungkin aku akan bisa fokus pada apa pun jika aku pulang sekarang!"

"Oh, baiklah."

Aku merasa tekanan ekspektasi yang datang dari Asahi-san terkait makan malam selanjutnya semakin berat ketika aku melihat ekspresi cerobohnya yang sedang membayangkan makanan dengan jari telunjuk yang menempel didekat bibirnya.

"Baiklah, silakan masuk."

Sama seperti sebelumnya, aku membuka pintu depan dan mengundang tetanggaku ini kedalam ruang apartemen. 

Ini adalah undangan yang tidak pernah aku pikir akan terjadi lagi.

Jika aku tahu ini akan terjadi, aku mungkin akan membersihkan ruanganku sebelum berangkat pagi ini...

Di sisi lain, gadis itu memasuki ruangan dengan penuh semangat sambil berkata, "Aku datang berkunjung!" dan sama sekali berbeda dengan penampilannya dua hari yang lalu ketika dia terlihat seperti 'kucing yang dipinjamkan'. 

Mungkin ini adalah tingkat semangat asli dari gadis itu.

TL/N: gua gak ngerti arti peribahasa 'kucing yang dipinjamkan' kalo ada yg tau komen lah.!


"Asahi-san juga kelihatannya lapar, jadi mari kita mulai memasak sauté daging babi dengan jahe." 

Sambil mengatakan hal itu, aku mengeluarkan bahan makanan yang kubawa. Asahi-san dengan penuh antusiasme berkata "Yay!" seperti seorang anak kecil dan mengangkat kedua tangan ke atas seperti yang diajarkan dalam buku pelajaran. 

Melihat kegembiraannya yang begitu tulus, aku tidak bisa menahan senyumanku.

"Karena aku akan memasak dengan cepat, Asahi-san bisa menunggu sambil bersantai di dalam."

"Oh, tidak apa-apa. Aku juga ingin membantu! Aku ingin melihat bagaimana Onii-san memasak!" 

"Benarkah? Kurasa itu tidak akan terlalu menarik untuk dilihat..."

"Tidak begitu! kurasa itu akan sangat menarik!"

Dia adalah gadis yang penuh dengan rasa ingin tahu, tidak hanya dalam hal makanan tetapi juga dalam melihat bagaimana makanan itu dibuat. 

Mungkin dia merasa bahwa menunggu selama lima belas menit ketika makanan yang dia pesan sebelumnya dimasak adalah sesuatu yang membosankan. 

Melihat proses memasak mungkin lebih menarik baginya.

Namun, meski dia menyarankan untuk membantu memasak, makanan ini adalah masakan yang sederhana, cukup memanggang daging babi di penggorengan. Hampir tidak ada persiapan yang merepotkan. 

Sedikit khawatir, aku tiba-tiba teringat percakapan kami dalam perjalanan pulang.


“ Asahi-san, kamu ingin bisa memasak, kan?”

 "Ya, aku ingin membuat makanan enak sendiri...''

"Baiklah, kalau begitu hari ini aku akan mengajarimu cara membuat sauté jahe.... Awasi aku selagi aku memasak."

"Apakah kamu yakin!? Hore!"

Aku tahu bahwa dalam sekitarku satu tahun terakhir, kemampuan memasakku tidak mengalami banyak perubahan, jadi tidak banyak yang bisa kuajarkan kepadanya. Bahkan cara membuat sauté jahe... yang kupikirkan sama persis dengan apa yang pernah aku temukan di situs resep. 

Tapi apapaun itu, aku akan melakukan yang terbaik untuk mengajarkannya cara membuat sauté daging babi dengan jahe kepadanya. Mungkin saja, dengan melihatku dia bisa menemukan sesuatu yang berguna daripada hanya melihat resep diatas layar.


"Baiklah, mari mulai." 

"Terima kasih banyak, Onii-san!"

"Tidak masalah." Meskipun sebenarnya aku tidak punya pengalaman mengajar...

"Sekarang, mari kita siapkan sayuran sebelum membuat sauté daging babi dengan jahe." 

Aku mencuci tangan dan menyiapkan pisau, bawang, dan kubis di atas talenan. Bawang akan digunakan untuk sauté bersama dengan daging babi, dan juga sebagai bahan untuk sup miso.

Dan sesuai keinginan Asahi-san, aku bersiap mengiris kubis. Saat aku sedang memikirkan itu, tiba-tiba tanganku berhenti bergerak.

(Bagaimana cara mengiris kubis dengan benar...?)

Aku berbicara besar dengan "Awasi aku baik-baik saar sedang memasak." seolah-olah seorang ahli dalam memasak, tapi aku sama sekali tidak tahu cara memotong kubis? 

Asahi-san yang berdiri di sampingku memiringkan kepalanya dalam kebingungan, 


"Onii-san? Ada apa?"

"Bukan apa-apa." kataku, mencoba menyembunyikan kebingunganku. "Hanya hal sepele."

Tapi sebenarnya, aku harus memberi penjelasan. Aku belum pernah menggunakan kubis dalam masakanku sebelumnya, jadi aku sama sekali tidak tahu cara memotongnya dengan benar. Ini bukan masalah harga diri; aku hanya malu untuk mengakui bahwa aku tidak tahu.

(Baiklah, jika aku mengirisnya dengan tipis, itu akan terlihat bagus, kan? Pertama-tama, aku akan menghapus bagian tengah yang keras... Tapi di mana tepatnya bagian tengahnya?)

Aku benar-benar tidak punya pengetahuan tentang kubis, jadi aku merasa sedikit bingung. 

Untuk saat ini, aku memutuskan untuk memotong bagian yang terlihat keras dan tidak bisa dimakan dengan melengkung, lalu menggunakan bagian daun yang tersisa untuk diiris tipis. 

Meskipun aku merasa sudah membuang banyak bagian yang bisa dimakan, aku akan belajar lebih banyak tentang cara memasak kubis untuk kesempatan berikutnya. Maafkan aku, petani kubis, maafkan aku, kubis...

Tanpa merenungkan masa lalu, aku memegang pisau dan mulai mengiris kubis lagi. Sekarang, ketika kita berbicara tentang mengiris, itu berarti memotong sayuran seperti kubis atau lobak menjadi potongan tipis dan panjang. Kata yang benar adalah "sengiri" bukan "senkiri."

Jadi, apa yang ku maksud adalah, jika kau tidak memotongnya menjadi panjang dan tipis, itu bukanlah "sengiri," dan aku merasa seperti itu adalah tugas yang sangat sulit...

Aku melihat ke bawah pada tumpukan hijau kekuningan yang tampak berantakan di papan pemotongan. Di sana, ada tumpukan yang mengaku sebagai "sengiri" kubis dengan lebar sekitar lima milimeter. Ini lebih mirip dengan "potongan kubis yang panjang dan sempit" daripada "sengiri" yang benar.

Aku mulai khawatir bahwa Asahi-san yang berharap untuk kubis "sengiri" akan terkejut, jadi aku sekilas melirik ke kanan, ke tempat Asahi-san berdiri.

ED/N: Intinya ini Sengiri tu irisan/potongan tipis/halus, sedangkan Senkiri lebih ke irisan/potongan besar.


"Waah, ternyata kubis sungguh cocok kan? Kubis, kubis~♪"

(Oh, dia sepertinya tidak terlalu memperhatikannya.)

Ternyata, bagi gadis ini, yang penting adalah rasanya, bukan penampilan atau hasil akhirnya. Seperti saat memasak tauge beberapa hari yang lalu, rasanya adalah yang terpenting. 

Tapi bukankah masakanku, bahkan rasanya tidak terlalu istimewa... yah mungkin saja, asalkan bisa dimakan, itu sudah cukup baginya.

Melepaskan ketegangan, aku merendam kubis dalam air dingin sambil mengupas bawang dan memotongnya dalam ukuran yang sesuai untuk sauté jahe. 

Sebagian aku sisihkan untuk sauté jahe, dan sisanya aku campurkan ke dalam panci bersama air. Kemudian aku mencampurkan kaldu bubuk dan miso, dan sup miso sederhana pun sudah siap.


"Sekarang, langkah berikutnya adalah membuat saus."

Sambil berbicara sendiri, aku mengambil bahan-bahan yang diperlukan dari lemari dan kulkas. 

Ada jahe parut dalam tabung, kecap, gula, mirin. Sisanya hanya terdiri dari tepung maizena (tepung kanji) dan minyak sayur.

Membuat sausnya adalah tahap yang sangat penting dalam menentukan kualitas akhir hidangan ini. Karena hanya ada dua langkah dalam memasak ini, yaitu 'menambahkan rasa' dan 'memasak'. 

Jika aku gagal dalam tahap ini, hidangan bisa menjadi tidak enak. Jadi, aku perlu berhati-hati.


"Meskipun begitu, sebenarnya tidak sulit. Hanya perlu mencampurkan bahan-bahan ini."

Sambil menjelaskan, aku menuangkan jahe, kecap, gula, dan mirin ke dalam mangkuk yang cukup besar. Jika ingatanku tidak salah, perbandingannya sekitar 2:2:1:1. 

Aku menggunakan sendok takaran yang jarang kugunakan untuk menambahkan setiap bahan dalam jumlah yang tepat, lalu mencampurnya hingga merata.

Oh iya, sebenarnya aku jarang sekali melakukan pengukuran semacam ini. Ketika aku mengatakan 'jumlah yang tepat', itu bukan berarti 'jumlah yang benar', tapi lebih kepada 'jumlah yang cukup' ---dan tentu saja, itu tidak selalu dalam arti yang baik.

Namun, hari ini aku berada dalam posisi mengajari Asahi-san memasak, meskipun itu hanya sedikit. Setidaknya, saat ini aku harus melakukan pekerjaan dengan teliti, terutama ketika seorang gadis yang lebih muda memperhatikan. 

Awal adalah hal yang paling penting dalam segala hal.... Tidak, tolong lupakan saja masalah potongan kubis tadi.


"Jadi, selanjutnya, kita akan taburkan tepung maizena pada daging. Kamu bisa melakukannya seperti ini, sebar daging di atas piring, lalu taburi dan pastikan semuanya terlapisi dengan baik."

"Oh...tapi kenapa kita perlu menaburkan tepung ini?"

"Eh?"

Aku terdiam oleh pertanyaan sederhana gadis itu. Aku selalu melakukannya tanpa banyak pertimbangan sebelumnya, tetapi sebenarnya mengapa kita harus menggunakan tepung maizena?

"M-mungkin, ini membuat hasil panggangnya lebih baik, atau memberikan tekstur yang lebih baik, sepertinya begitu..."

Suaraku mulai merosot ketika aku menjawab dengan keraguan. Tapi entah bagaimana, gadis ini malah tersenyum penuh kagum, "Sangat mengerti, seperti yang diharapkan dari Onii-san!" Bagaimana bisa? Ini terasa menyakitkan.

Setelah mencari informasi lebih lanjut, sepertinya benar bahwa tepung maizena dapat memengaruhi hasil panggang dan tekstur. 

Itu membuatku lega, sepertinya aku tidak berbohong. Ternyata, tepung maizena juga memengaruhi kekentalan saus, terutama dalam sauté jahe. 

Mungkin nanti aku bisa mencoba membandingkannya saat memasak sendiri.


"Sekarang, kita masuk ke langkah penting, yaitu memasak daging."

Aku mencoba mengumpulkan kembali semangatku. 

Aku memanaskan minyak di atas kompor gas, kemudian mengangkat panci. Setelah memeriksa apakah sudah cukup panas dengan mencipratkan sedikit minyak, aku mulai memasukkan daging babi dan memasaknya dengan api sedang.

"Waah... baunya sungguh harum sekali."

Dengan ekspresi terpukau, Asahi-san memandangi daging yang sedang digoreng dengan suara mendesis yang menggoda. Memang benar, suara dan aroma daging yang sedang digoreng ini bisa terasa bisa meningkatkan semangat. 

Ini berbeda dengan saat memasak telur atau ikan; sepertinya ada insting untuk makanan daging dalam diri manusia. 

Mungkin otak dan tubuh kita memang diciptakan untuk menginginkan protein hewani. Aku tak yakin, tapi begitulah.

Ketika daging babi sudah matang dengan sempurna, aku segera menambahkan sausnya. Seketika aroma jahe muncul dari wajan dan mengisi seluruh dapur yang kecil ini. 

Aku harus menjalankan kipas ventilasi, atau aroma itu akan meresap ke seluruh sudut ruangan.


"Woow! Onii-san, sauté jahe ini terlihat sangat enak! aku ingin segera mencobanya!"

“Tentu, sekarang sudah siap… Oh, sepertinya nasinya juga sudah matang.”

Mendengarkan melodi elektronik dari rice cooker dan mengecek jam, waktu sudah menunjukkan pukul 6 sore. aku melapisi daging babi jahe yang sudah jadi dengan kubis yang sudah dikeringkan dan mulai menumis bawang bombay bersama sisa saus dari penggorengan.

"Hei Asahi-san, ada sendok dan beberapa mangkuk di sana. Bisakah kamu mengambil nasinya?"

"Mengerti! Jadi, porsi besar atau porsi ekstra besar untukmu?"

"Tidak juga. Lalu, kenapa kamu langsung lompat ke porsi ekstra besar? Mangkuk berukuran sedang sudah cukup bagiku."

"Aku akan memastikan mangkuknya terisi penuh sampai atas, oke?"

"Sudah jelas maksudku, atau kamu salah paham? Aku tidak ingin nasi segunung seperti di cerita rakyat Jepang jaman dulu, oke?"

"Wow, bau nasi yang baru dimasak...! Senang sekali aku bisa hidup sampai hari ini!"

"Aku tidak...."

Sambil melihat Asahi-san yang dengan semangat menuangkan nasi ke dalam mangkuk, aku dengan hati-hati menuangkan bawang yang telah matang bersama sausnya di atas sauté jahe. 

Yah, hasilnya cukup baik, menurutku. Sup miso juga terasa cukup standar, dengan rasa yang tidak terlalu berisiko.


“Baiklah, ayo makan di sana. Asahi-san, bisakah kamu membantuku membawakan piring?”

"Tentu saja! Oh, ini milikmu!"

“Seperti yang kuduga, ini berubah menjadi porsi tak masuk akal dalam cerita rakyat... Dan hei, kenapa porsimu berukuran biasa?”

"Kupikir tidak sopan makan lebih banyak darimu..."

“Kamu bersikap sopan dengan cara yang aneh.”

Yah, selama masih ada nasi, tidak masalah untuk mengambil lebih banyak. 

Tidak mungkin perut Asahi-san yang mengklaim bisa makan enam mangkuk hanya dengan sayuran tambahan bisa puas hanya dengan satu mangkuk nasi dengan porsi biasa. 

Masalah sebenarnya adalah apakah nasi yang aku masak hari ini cukup. Mungkin tidak... empat cangkir mungkin tidak cukup... kurasa.

Aku membawa piring sauté jahe dan mangkuk sup miso ke meja ruangan, dan semua yang diperlukan sudah disiapkan. 

Sayangnya, Asahi-san harus menggunakan sumpit sekali pakai lagi, seperti sebelumnya. Jika ada kesempatan berikutnya, sepertinya aku harus membeli sumpit yang layak saat pergi ke toko serba seratus yen.

Duduk rapi di atas bantal dengan sedikit kapas, Asahi-san terus mengalihkan pandangannya antara wajahku dan sauté jahe, seolah dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi. 

Kegigihannya terlihat jelas. Aku memberinya senyuman penyemangat dan menunjuk ke arah piring. Dengan senyuman di wajahku, aku juga duduk di atas bantal dan berkata, "Baiklah, ayo makan sebelum dingin."

TL/N: mitos org tu dulu dulu gak baik loh makan di atas bantal, nanti kena bisul.


"Terimakasih! Selamat makan!"

Setelah dia merapikan tangan dengan rapi di depan dadanya, gadis itu segera menggigit sepotong sauté jahe. Dia mengunyah dengan nikmat, dan kemudian pipinya memerah sambil mengeluarkan suara "Mmm~!" dengan penuh antusias.

"Enak sekali!"

Setelah jeda yang cukup panjang yang membuatku khawatir dia mungkin tersedak, Asahi-san memuji masakan buatanku. 

Dia begitu bersemangat sehingga aku tanpa sadar mundur bersandar sedikit sebagai tanggapan atas pujiannya. Meskipun demikian, gadis SMA di sebelahku tetap bersemangat dan berkata.


"Ini adalah sauté jahe terenak yang pernah aku makan! Aku tidak menyangka daging babi bisa terasa enak ini!"

"Wow, itu sangat berlebihan."

Aku terkekeh merespons pujian yang sangat jelas itu. Mengingat dia mengatakan bahwa dia sangat menyukainya, aku yakin dia pernah mencoba sauté jahe yang lebih lezat sebelumnya, entah dari masakan ibunya atau restoran tertentu. 

Dalam hal ini, hidangan buatanku dengan daging murah dan disiapkan seadanya dalam lima belas menit pasti tidak sebanding.

Sambil mengabaikan pandangan yang begitu jelas dari gadis yang begitu jujur itu, aku juga mengambil sepotong sauté jahe dan mencicipinya.

(Hmm... tapi sebenarnya, hasilnya memang tidak buruk. Dagingnya tidak terlalu keras, dan rasanya tidak terlalu kuat atau terlalu lemah. Rasanya cukup pas. Meskipun bukan sesuatu yang bisa dibanggakan, ini masih memiliki keseimbangan yang memuaskan.)

Rasa lemak babi yang khas, dipadukan dengan saus yang beraroma, meningkatkan rasa keseluruhan secara signifikan. 

Sungguh, aku tak mengira hanya dengan mengikuti petunjuk resep dari situs besar, aku bisa membuat hidangan yang cukup baik.

Lalu, dengan lemak dan saus yang mewah di mulutku, aku mulai mencampurkan nasi putih dari mangkuk yang terlihat seperti dalam cerita-cerita rakyat jepang.

Setiap butiran nasi yang aku kunyah memancarkan rasa manis yang menyenangkan, yang secara perlahan melapisi rasa kuat sauté jahe dan menghilang ke tenggorokan. Aku melanjutkan dengan meneguk sedikit sup miso yang rasanya lebih ringan, merasa sangat puas.



"Seperti yang diharapkan, kombinasi daging babi jahe dan nasi tidak ada duanya! Manisnya lembut bawang bombay dalam sup miso juga berpadu sempurna dengannya!"

"Kamu benar sekali. Oh, dan kalau kamu mau tambahan nasi, jangan ragu untuk memintanya. Nasi nya masih banyak."

"Terima kasih banyak! Hehe, kalau begitu aku akan..."

(Dia sudah menghabiskan mangkuk keduanya!?)

Sungguh, selama aku masih berbicara, dia sudah menyantap satu mangkuk lagi. Bukankah ini terlalu cepat? Aku bahkan meragukanx apakah dia benar-benar mengunyah atau tidak.

TL/N: inget ya geys ya, gak baik makan buru- buru, sunah nabi tuh kalo makan usahakan harus di kunyah sebanyak 33X


"Gulung kol dengan daging... lalu... makan! Mmm! Rasanya sangat enak dengan perbedaan tekstur yang keren antara kol yang renyah dan daging yang lembut! Bawang yang disajikan sebagai pelengkap dengan saus juga bisa dimakan sendiri dan sangat enak! Dan yang terpenting, nasi yang masih hangat! Ini terlalu lezat! Jika ada nasi yang baru dimasak, aku bahkan bisa makan banyak mangkuk!"

(Dia bahkan bilang bisa makan beberapa mangkuk nasi asalkan masih baru dimasak? Bukankah ini semua hanya tentang nasi?)

Tapi serius, dia makan dengan sangat baik. Sepertinya dia benar-benar menikmati makanannya.

Sumpitnya tidak pernah berhenti bergerak, membuktikan kecintaannya pada makanan. Daging, nasi, bawang bombay, nasi, nasi, sup miso, nasi, nasi, daging, kubis, nasi, nasi, nasi, nasi... Benar-benar, dia menghabiskan nasi dengan cepat sekali. Mungkinkah dia akan makan nasi sebagai makanan penutup nanti?


"... Saat aku melihatmu makan seperti itu, aku merasa seperti sumpitku bergerak dengan sendirinya."

"?" "Apakah itu berarti aku terlihat seperti hidangan penutup bagimu?"

"Pemilihan katamu buruk sekali..."

"???"

Asahi-san mungkin mengatakannya tanpa sadar, tetapi kata-katanya terdengar sangat berbeda di telinga seorang mahasiswa pria yang lusuh. Sebagai klarifikasi, aku hanya mengatakan bahwa melihat Asahi-san merangsang nafsu makanku. Aku tidak bermaksud yang lain. Tidak ada motif tersembunyi.

Sementara aku terpekur memikirkan hal-hal yang tidak penting, makanan terus berkurang. Pada akhirnya, wadah di dalam rice cooker kosong dalam sekejap. Waktu yang aku habiskan dengan sumpit hanya sekitar dua puluh menit.

Kecepatan makannya tidak terputus sampai gigitan terakhir ada di mulutnya.


"Ungh, teguk ... huh ! Terima kasih atas makanannya! Aku sungguh kenyang sekarang!"

“Hahaha, nafsu makanmu cukup besar. Sungguh menyenangkan melihatmu makan.”

Setelah meminum segelas air setelah makan, Asahi-san tiba-tiba memucatkan wajahnya, seolah-olah dia baru teringat sesuatu.

"A-aku minta maaf, Onii-san? Aku, sekali lagi... tanpa mempertimbangkan posisiku..."

“Tidak, tidak, jangan khawatir. Akulah yang mengundangmu hari ini kan?”

Aku meyakinkannya sementara dia tampak bingung. Itu adalah pemandangan yang pernah kulihat sebelumnya. 

Sepertinya saat dia makan sesuatu yang enak, dia menjadi begitu asyik hingga dia melupakan semua yang ada di sekitarnya.

“Tapi aku sudah makan semua nasinya, jadi kamu mungkin tidak akan kenyang, Onii-san!”

"Tidak, aku baik-baik saja, aku makan lebih banyak dari biasanya... terutama nasi."

"Jika apa yang kamu katakan tadi benar, aku akan menjadi 'laukmu'! Kamu bisa 'memakanku'!"

TL/N: gas aye. kesempatan gak datang dua kali😁

ED/N: Bjir, jgn ditunda kalo inimah :v 


"Baiklah, dalam hal itu, percayalah bahwa ucapanku sebelumnya adalah kebohongan besar, dan aku berharap kamu tidak akan mengajukan tawaran semacam itu lagi."

Dengan serius, aku menjawab, kemudian mulai mengumpulkan piring-piring dan peralatan makan ke dapur. Aku juga merendam alat-alat yang digunakan saat memasak tadi.


"Um, onii-san, bisakah kamu setidaknya mengizinkan aku mencuci piring? Tolong?"

"Eh? Kamu mau mencuci piring, Asahi-san?"

Ketika aku bertanya-tanya, gadis itu mengangguk dengan lembut. Sepertinya dia ingin menebus rasa bersalah dalam dirinya sendiri dengan cara apa pun. Walaupun sebenarnya, aku tidak melihat dia melakukan kesalahan apa pun.

"Hahaha, kamu benar-benar tidak perlu khawatir tentang itu. Juga, ada pisau di sana dan itu berbahaya, jadi mungkin lebih baik jika kamu bersantai disana saja."

"Baiklah...?"

(Cara dia merasa kecewa sangat mencolok.)

Dengan penuh kekecewaan, Asahi-san menjatuhkan bahunya. Segera aku membatalkan kata-kataku dan berkata, "Baiklah, baiklah!"


"Baiklah kalau begitu, aku akan menangani piringnya, dan Asahi-san, kamu bisa menggunakan kain lap itu untuk mengeringkannya, oke?"

"Mengerti! Serahkan padaku!"

"Eh, ya."

Dengan punggung tegak dan pose memberi hormat, Asahi-san segera mengambil peran mengeringkan piring. Aku mengangguk dengan sedikit keringat terbentuk di dahiku. Suasana macam apa ini?

Jadi, aku mulai mencuci piring dengan spons sementara Asahi-san mengeringkannya menggunakan kain. Tidak memakan banyak waktu; itu hanya hidangan untuk dua orang.

“Ngomong-ngomong, Onii-san, kamu sungguh pandai memasak. Aku sangat terkejut.”

"Aku tidak paindai, sungguh."

Saat gadis itu memujiku dengan nada bersenandung, aku menyerahkan piring yang sudah dicuci padanya dan melanjutkan.


"Sejujurnya, jika aku dianggap 'pandai memasak', lalu seberapa baik ibumu? Aku yakin dia jauh lebih baik dariku, kan?"

"Tidak, ibuku tidak bisa memasak sama sekali."

"Tunggu... serius?"

"Ya. Ibuku sudah sibuk bekerja jauh sebelum aku lahir, dan dia sangat buruk dalam memasak dan bersih-bersih."

"Oh, benarkah... Tapi Asahi-san, kamu dan ibumu tinggal bersama, kan? Jadi, siapa yang memasak untukmu sekarang? Maksudku, bukannya aku memaksamu untuk menjawab, tapi... apakah itu semua hanya tentang makanan cepat saji atau bento dari swalayan?"

"Ya."

"Benarkah!?"

"Ya, sungguh."

Meskipun aku merasakan keinginan untuk mengatakan bahwa itu akan menjadi impian jika aku tidak perlu memasak sendiri, tapi itu bukanlah apa yang terlintas dalam pikiranku. Pikiran pertama yang muncul adalah yang lain.

Namun, Asahi-san mengungkapkan fakta yang lebih mengejutkan.

"Aku mengatakan bahwa aku tinggal bersama ibu sehari sebelumnya, tetapi sebenarnya, aku telah tinggal sendirian selama sekitar enam bulan."

"!?"

"Ibu pergi jauh untuk pekerjaannya... Jadi, bahkan jika ibuku pandai dalam memasak, aku masih tidak akan bisa makan masakan rumahan, haha."

Asahi-san tertawa sambil menambahkan pernyataan itu, tapi wajahnya tidak bersinar seperti matahari lagi. Sebaliknya, tampak seperti ada awan mendung yang melayang di wajahnya.

---Aku benar-benar makan 'nasi yang hangat' seperti ini setelah sekian lama---

(Sebenarnya, apa yang dia maksud dengan itu...)

Kata-kata yang dikatakan gadis itu saat kami berpisah dua hari lalu terngiang di benakku. 'Nasi yang hangat' yang dia sebutkan tidak hanya merujuk pada suhu makanan yang panas. 

Saat melihat wajah samping gadis ini, yang berada dalam lingkungan yang sama sekali berbeda dari yang pernah aku alami, aku mulai merasakan kesendirian yang mendalam dalam dirinya.

Merasa kasihan pada gadis ini adalah hal yang salah. Setiap keluarga memiliki keadaannya sendiri, dan aku yakin ibu Asahi-san bekerja keras untuk memastikan anaknya bahagia. 

Dengan kepribadian yang ramah dan senyuman yang cerah seperti itu, mudah untuk membayangkan betapa banyak cinta yang diberikan kepada gadis ini. Tapi jika aku menyebutnya sebagai seseorang yang tidak bahagia, maka mungkin tidak ada orang yang benar-benar bahagia di dunia ini.

(Namun...)

Sore ini, aku teringat apa yang ada dalam keranjang belanjaan yang dibawa Asahi-san. Bento, lauk, makanan beku, dan camilan... Isi keranjang itu mencerminkan situasi Asahi-san.

Tidak ada makanan yang dibuat khusus untuknya di dalamnya. Semua adalah produk yang diproduksi massal untuk konsumen yang tidak dikenal. 

Tentu saja, itu adalah kenyataan yang wajar. Tidak ada yang salah atau benar tentang hal itu. Tidak ada kehangatan di dalamnya.

(Tapi...)

Aku memikirkan bagaimana makanan yang dibuat dengan penuh perhatian untuknya akan sangat berbeda. 

Gadis itu mungkin merasa senang dengan masakanku karena itu memberinya sedikit kehangatan.


"Ah, apa yang kubicarakan? Ya ampun, jika aku ingin membicarakan sesuatu, seharusnya aku memilih topik yang lebih menyenangkan..."

"Asahi-san..."

Menyela gadis yang mencoba mengubah suasana berat dengan kata-katanya, aku menghentikan aliran air dari keran.

"Jika kamu ingin makan nasi hangat, silakan datang kapan saja. Aku tidak bisa membuat sesuatu yang mewah... tapi ayo kita makan bersama lagi."

TL/N: flag mulai berkibar dari sini


"!"

Gadis itu berhenti menyeka piring terakhir, dan matanya yang besar membelalak. Beberapa detik kemudian.

"Ya! Aku pasti akan datang!"

Jejak bayangan dan kekhawatiran apa pun menghilang, dan dia kembali tersenyum cerah. Melihat perubahannya membuatku tersenyum.

Aku memang tidak bisa mengubah situasi keluarganya, tetapi aku selalu bisa memberikannya makanan penuh kehangatan.

Aku tidak bisa memecahkan masalah yang dia hadapi. Itu diluar kendaliku.

Tapi, mungkin saja aku bisa mengurangi perasaan kesendirian yang dia rasakan. Aku mungkin tidak bisa menghilangkannya sepenuhnya, tapi aku bisa membuatnya merasa lebih baik.

Aku merasa bahwa jika gadis ini tersenyum, aku bisa melalui segala kesulitan dalam memasak. 

Bahkan, mungkin saja aku bisa belajar untuk menyukai masakan yang tidak aku sukai sebelumnya.

Ya, semuanya dimulai pada hari ini. 

Sejak hari itu, hidupku dengan Asahi Mahiru pun berubah secara signifikan.

TL/N: ya flag romance mulai berkibar dari chapter ini.




Post a Comment

Post a Comment