NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Gariben-kun to Uraaka-san: Sanzan osewa ni natte iru ero-kei uraaka joshi no shoutai ga kurasu no aidoru datta ken - Volume 1 - Chapter 2 [IND]

 


Translator: Yanz

Editor: Qirin

Chapter 2 



 Ada pepatah yang mengatakan ‘waktu adalah emas’ itu adalah hal yang mendasar. Oleh karena itu, saat istirahat makan siang adalah waktu yang berharga.


Pentingnya memastikan waktu untuk makan siang dalam menjalani kehidupan yang sehat tidak perlu diragukan lagi… Namun, karena secara sederhana menjadi istirahat terpanjang, istirahat makan siang memiliki nilai yang tak tergantikan.


Bagi siswa yang tiap hari dikejar-kejar oleh pelajaran yang padat, pastilah mereka merasakan betapa berharganya waktu istirahat tersebut.


Mulai dari persiapan untuk pelajaran dan persiapan tes harian, menyalin tugas yang terlupa atau tertinggal, hingga saat-saat bersama teman atau kekasih, atau kegiatan klub maupun rekreasi bersama teman-teman, pemanfaatan waktu ini sangat beragam.


Tentu saja, ada yang menghabiskan waktu istirahat makan siang untuk tidur juga ada.


Namun, di saat istirahat makan siang yang sangat berarti dan berharga itu, Tsutomu dipanggil ke ruang staf.


--- Sungguh menyebalkan.


Bagi para siswa, ruang staf sudah seperti kamar neraka atau ruang penyiksaan.


Kecuali ada yang melakukan hal aneh, jika tidak, maka tidak ada yang akan mau memasuki ke tempat tersebut.


Biasanya, tidak ada hal yang bagus ketika siswa dipanggil ke sana.


Istirahat siang dan ruang staf.


Kombinasi dua kata ini sungguh menyedihkan.


Dan di tengah-tengah “kesedihan” itu, aku saat ini dipaksa untuk mengunjungi tempat itu.


--- Ini benar-benar… situasi yang tidak tertahankan.


Tsutomu menggigit gigi belakangnya dan kerutan muncul di antara alisnya. Pelipisnya juga terasa sakit.


Saat Tsutomu merasa kesalnya mencapai puncak, Tsutomu akan mendorong bingkai kacamata yang tergelincir dari posisi normal dengan jari tengahnya.


Aku tetap diam, tapi di dalam hati, aku terus menggerutu.


--- Setidaknya aku berusaha untuk tidak menunjukkan rasa kesal ku.


Dia ingin memuji dirinya sendiri dengan perasaan seperti itu. Meskipun pada kenyataannya dia sering menunjukkannya, tapi Tsutomu tidak membiarkannya begitu saja.


Ada alasan mengapa kali ini Tsutomu merasa begitu tidak senang.


Karena… di ruang staf pada istirahat siang, ada pemandangan yang tak bisa diabaikan oleh seorang siswa biasa.


Para guru bersantai dengan penampilan apa adanya, jujur saja, itu terlihat sangat tidak teratur.


Di ruang staf terdapat tumpukan kertas yang berantakan dan meja yang berantakan semua itu terasa sangat mengganggu bagi Tustomu.


Guru yang menikmati camilan yang dilarang untuk dibawa ke sekolah mulai memasukkannya ke dalam mulutnya, itu benar-benar terlalu menggagu.


Dan guru yang asyik bermain-main dengan ponselnya, sudah menjadi hal yang tidak patut untuk dijunjukkan di depan muridnya.


Meskipun pihak sekolah telah memasang papan pengumuman yang menyatakan untuk “matikan ponsel di dalam area sekolah”.


--- Bagaimana aku bisa dengan ikhlas mendengarkan omelan dari orang-orang seperti ini?


Para “orang-orang seperti ini” atau lebih tepatnya para guru-guru ini, dengan wajah riang mengomentari para siswanya tentang “pemeriksaan pakaian”, “kebersihan dan kerapihan”, “jangan membawa barang yang tak perlu ke sekolah”, dll. Aku ingin sekali mengatakan, coba lihat lah ke cermin!


Menurutku, seseorang dapat disebut “dewasa” apabila bapat menjadi sosok yang patut dihormati dan dapat mencadi penutan untuk orang yang lebih muda.


Hingga sekarang, aku tak merasa telah salah tentang pendapat ku, dan aku juga tidak merasa bahwa itu berlebihan.


--- Sepertinya di dalam ruang staf ini, tidak ada satu pun orang yang bisa disebut “dewasa”.


Yang berkumpul di sini hanyalah anak-anak yang tubuhnya tumbuh besar saja.


Guru-guru yang masih seperti anak-anak mengambil sikap atasannya terhadap siswa seperti anak-anak, membawa berbagai perintah yang terkesan tidak masuk akal.


membayangkannya saja sudah cukup membuat kita tersenyum pahit, dan jika diucapkan, benar-benar tidak masuk akal bahwa kekacauan seperti itu diperbolehkan dalam dunia yang disebut sekolah, sebagai suatu dimensi lain yang aneh.


Oleh karena itu, sejak hari pertama masuk SD, aku belum pernah merasa menghormati mereka yang menyebut diri mereka sebagai guru.


“Kariya-kun, apa kamu mendengar, kan ku?”


“Saya mendengar.”


Suara manis itu mengembalikan kesadaran ku ke dunia nyata. Tapi entah manapa meskipun suara uara itu terdengar manis namun itu membuatku merasa sangat terganggu.


Yang mengucapkannya adalah guru wali kelas (perempuan, berusia 25 tahun) yang memanggil ku untuk masuk ke wilayah yang menjijikkan ini.


Karena penampilannya yang cukup rapi beliau menjadi orang yang populer di antara para siswa dan guru lain.


Meski begitu bagi ku, dia adalah sosok yang sangat menjengkelkan.


Dia terus-menerus menuntut sesuatu, menyalah gunakan posisinya, tetapi dia tidak pernah merespons apa pun yang ku minta. Itu membuat keseimbangan antara siswa dan guru tidak seimbang.


Bukan hanya itu, dia sepertinya sama sekali tidak menyadari fakta tersebut.


Ini sungguh menyebalkan. Bukan karena reaksi emosional, tetapi karena logika.


“Banyak guru yang mengluhkan sikap dalam pelajaran Kariya-kun.”


“Hah.”


Aku hanya bisa menjawab dengan suara lembut atas teguran yang konyol.


Aku sama sekali tidak peduli dengan keluhan guru.


Alasannya sangat sederhana, karena aku tidak memiliki masalah dalam prestasi.


Sebaliknya, jika dibatasi hanya di bidang akademis yang terkait dengan ujian masuk perguruan tinggi, aku barada di peringkat pertama yang tak tertandingi.


Di sekolah ini, yang merupakan sekolah menengah atas di prefektur ini dengan tujuan utama untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, prestasi akademis harus diutamakan di atas segalanya, dan aku tidak punya alasan untuk mengeluhkan nilai yang secara konsisten menduduki posisi atas dalam ujian simulasi nasional.


Jadi aku tidak memiliki kebutuhan untuk mendengarkan pelajaran di sekolah.


Itulah kesimpulan yang ku diambil setelah menghabiskan sekitar satu tahun di sekolah ini.


Aku menyimpulak bahwa jauh lebih efisien untuk belajar sendiri (dengan cara ku), itu semua terbukti oleh hasil ujian (yang disusun oleh para guru).


Pembelajaran harus ditingkatkan secara efisien dan efektif.


Aku sama sekali tidak tertarik dengan keluhan para guru.


Lebih dari itu, jika ditambahkan… keseharian dalam hidupku juga tidak buruk.


Setiap hari aku datang ke sekolah dengan tepat waktu, aku selalu mengikuti pelajaran dengan tenang selama pelajaran.


Aku memiliki bekerja pekerjaan paruh waktu setelah sekolah dan aku memiliki izin dari sekolah untuk melakukannya.


Tentu saja, aku juga tidak pernah melanggar aturan sekolah. Aku tidak terlibat dalam perkelahian atau masalah apa pun, yang terkadang di alami siswa lain.


“Sejak dulu aku merasa khawatir, karena Kariya-kun dengan sengaja membuat jarak dengan orang-orang di sekitarnya…”


Jika aku diam saja, guru wali kelas tersebut bahkan ikut campur dalam lingkungan sosial ku. Keadaan ini tidak mengalami masalah serius seperti terlibat dalam intimidasi atau hal lainnya, jadi campur tangan ini adalah campur tangan yang tidak perlu.


Memang benar bahwa aku hampir tidak memiliki teman. Itu adalah fakta.


“Apa karena aku tidak punya teman, itu akan menjadi masalah lain?”


Memang benar bahwa teman-teman dari masa sekolah akan kebanyakan terputus hubungannya dalam beberapa tahun setelah lulus. Meskipun aku memiliki beberapa teman yang cukup baik selama SMP, namun saat ini tidak ada satu pun dari mereka yang hubungannya berlanjut.


Jika aku membuat teman-teman di SMA, hasilnya kemungkinan akan sama. Sejarah itu akan berulang kembali.


Sebagai siswa yang tinggal sendiri dan bercita-cita melanjutkan ke perguruan tinggi, aku tidak punya banyak waktu luang. Aku juga tidak punya energi untuk membuang-buang waktu dengan hal-hal yang tidak berguna.


Aku sudah tidak berniat untuk berbicara dengan guru yang bahkan tidak bisa menyadari situasi sepele seperti itu, padahal dia adalah guru di sekolah bergengsi.


“Kariya-kun, kamu akan berinteraksi dengan berbagai orang ketika masuk ke dunia masyarakat nanti. Jika kamu terus berpikir bahwa cukup hanya pandai belajar seperti sekarang, dan berpandangan yang sempit seperti itu …”


Aku telah menyerah pada pembicaraan yang tidak masuk akal itu dan tidak bisa membalas. Guru wali kelas itu salah paham dan merasa aku tidak bisa lagi membantah, maka terus melanjutkan argumennya.


--- Mendapat ceramah tentang ‘pandangan yang sempit’ dari seorang guru… dari segala tempat, di dunia yang terpencil seperti sekolah ini.


Itu akan menjadi lelucon. Tetapi ini bukan lelucon sehingga tidak bisa ditertawakan.


Bagaimanapun, aku tidak akan menunjukkan ekspresi apapun terhadap topik pembicaraan semacam ini.


Ini hanya akan buang-buang waktu sampai pada batas tertentu, dan itu hanya mengganggu.


Jadi, dia mendengar ‘suara’ itu – saat dia sangat bosan dengan semuanya.


“Jika kamu hanya mendengarkan ku berbicara dengan tenang… lalu apa artinya ini sejak tadi?!”


Suara yang tiba-tiba bergema, membuat matanya yang hampir tertutup tiba-tiba terbuka lebar.


Itu adalah seruan dengan amarah yang mengoyak suasana tenang di ruang staf.


Tentu saja, aku menoleh.


Di sana ada satu siswa dan satu guru.


Mereka bertatapan dengan marah, dan suasana yang begitu tegang bisa dirasakan bahkan dari jauh.


Meskipun aku tidak benar-benar mengenal keduanya secara langsung, namun mereka berdua terkenal di sekolah dan aku mengenali wajah dan nama mereka.


Siswa itu adalah seorang gadis dari kelas yang sama dengan Tsutomu.


Yang pertama yang mencolok adalah warna rambut hitamnya yang halus yang dibiarkan terurai mencapai pinggangnya.


Kemudian wajah yang sangat indah dan sempurna, yang cocok dengan sebutan gadis cantik. Hanya dengan melihatnya, hati ini merasa bahagia.


Mata hitam besar dengan pandangan yang tajam dengan garis hidung yang jelas.


Bibirnya kecil dengan warna pink yang mencolok.


Setiap bagian dari wajahnya luar biasa dan tidak hanya berkualitas tinggi, tetapi juga tersusun dengan sempurna.


Dia agak tinggi untuk seorang gadis, sedikit lebih pendek dari Ben yang memiliki tinggi 160 cm, mungkin sekitar 170 cm?


Tubuhnya ramping dan posisi pantatnya tinggi. Kakinya yang putih bersinar menjulang dari rok pendeknya.


Puncak seragamnya menonjolkan di bagian dada, menunjukkan daya tarik keseluruhan yang sangat baik.


“Marika Tachibana.”


Gadis cantik ini memiliki prestasi akademik dan olahraga yang sangat baik, serta kemampuan komunikasi yang tinggi. Tidak ada kelemahan dalam kepribadiannya.


Dia adalah pusat perhatian di kelas, yang menjadi gadis seperti protagonis.


Pada festival budaya tahun lalu, dia menjadi ratu, mengalahkan senior-senior saat itu. Kepopulerannya dan prestasinya tidak terbatas hanya di kelas.


Sedangkan guru itu adalah pembimbing siswa.


Dia adalah seorang pria berpenampilan sederhana, tanpa daya tarik khusus, usianya sekitar 50-an. Setiap hari, dari pagi hingga malam, dia mengenakan celana jas biru tanpa variasi dalam penampilannya.


Guru itu memiliki jiwa dan kepribadian yang cukup unik, dia memiliki kecenderungan langka untuk selalu mencari-cari kesalahan siswa dalam setiap hal yang mereka lakukan.


Meskipun langka, itu tidak dianggap berharga atau berarti apa-apa. Hanya karena sesuatu jarang itu bukan berarti tidak spesial.


Dia adalah sosok yang menonjol dalam arti buruk, bahkan kabarnya, tidak hanya siswa tetapi juga rekan-rekannya yang sesama guru juga merasa terganggu dengan kehadirannya. Ini adalah gosip yang banyak beredar.


Kedua orang yang sangat berbeda, berdiri menghadap satu sama lain di ruang staf selama istirahat siang.


--- Apa ini?


Mereka berdua memancarkan atmosfer yang tidak biasa.


Mereka melewati tahap ‘semangat perang’, dan mereka tampak seperti tempat di mana ledakan bisa terjadi setiap saat, dan guru lain tidak bisa mendekatinya. Mereka tampak takut akan percikan api yang tak terlihat.


“Kamu berpura-pura tidak tahu apa-apa. Aku berkata agar jangan datang ke sekolah dengan penampilan berlebihan seperti itu!”


“Penampilan seperti apa yang dianggap ‘berlebihan’? Menurutku aku tampil cukup biasa.”


Dia menahan marah dari guru pembimbing, dan mengembalikannya kepadanya dengan sikap tegas.


Meskipun terlihat seperti seorang gadis yang tampak rapuh, tetapi tidak ada tanda-tanda ketakutan pada dirinya.


Ketegasan dalam menghadapi intimidasi yang pasti akan membuat sebagian besar siswa merasa takut, tapi sikapnya yang tegar ini malah memberikan perasaan segar.


“Biasa? Di mana yang biasa darimu? Kau masih anak kecil!”


“Anak kecil? Ah, tidak, jijik … “


--- Tidak, menurutku sama sekali tidak terlihat seperti itu.


Meskipun mereka berjarak, aku setuju dengan kata-kata gadis itu.


Di zaman seperti sekarang, pernyataan sebelumnya mungkin dapat dianggap sebagai pelecehan seksual.


Tanpa mengaitkan hal tersebut, itu adalah hal yang sangat menjijikkan jika pria tua berbicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan daya tarik terhadap seorang siswi SMA. Ini bukan bercanda, ini benar-benar menjijikkan.


“Menjijikkan?” aku mendengar kata-kata tersebut.


“Mereka tidak berpikir untuk membuang waktu istirahat siang yang berharga hanya untuk berbicara tentang alasan yang tidak masuk akal. Tentu saja, itu membuatmu marah.”


--- Aku lebih suka sikapnya yang menolak menghiraukan omong kosong dari guru ini daripada mencoba membual dan menyelesaikan perdebatan semacam itu.


“Jadi, apa yang ku sebut ‘menjijikkan’, itu adalah sikapmu yang berdandan berlebihan ketika datang ke sekolah!”


“Berlebihan? Ah, tidak, jijik …”


--- Ya, benar itu menjijikan.


Meskipun jaraknya agak jauh, aku setuju dengan perkataan gadis itu.


Di zaman seperti sekarang, pernyataan sebelumnya mungkin dapat dianggap sebagai pelecehan seksual.


Reaksi dari Marika ternyata tidak seperti yang diharapkan. Apakah dia hanya akan patuh jika itu adalah barang dengan merek mewah?


Aku tidak bisa mengerti apa yang di pikirkan Marika.


“Aku tidak peduli berapa harganya. Yang salah adalah kamu yang datang ke sekolah dengan memakai makeup yang jelas dilarang oleh peraturan sekolah.”


Guru pembimbing juga tidak mau mengubah sikapnya yang tegas.


Marika Tachibana adalah salah satu sosok siswa yang karismatik di sekolah ini.


Jika dia bisa diatasi, pengaruhnya terhadap siswa lain tak terhitung.


Aku bahkan tidak bisa membayangkan skenario lebih lanjut, tetapi aku juga tidak ingin memikirkannya.


Ketika dia melihat reaksi guru-guru di sekitarnya… sebagian besar dari mereka setuju dengan guru pembimbing, sementara sisanya hanya diam dan mengabaikannya, tidak ada yang mendekatinya untuk mendukung siswa yang kesulitan ini.


--- Jangan mengganggu.


Situasi ini benar-benar membuatku marah.


Para guru dengan sembrono mulai bersemangat untuk mengejek Marika.


Mereka berbicara dengan sombong dalam pelajaran yang bodoh dan tidak berguna seperti, ‘Tidak membantu orang yang sedang dibully sama saja dengan menjadi bagian dari perundungan.’


--- Mereka sumua … aku sudah tidak bisa menonton lagi.


Dengan udara yang terkumpul di paru-parunya, Tsutomu mulai melepaskan kemarahan yang berat, menuju pusat kegemparan.


“Ah, Kariya-kun!? Kamu mau ke mana?”


Aku mengabaikan guru pengajar yang berisik dan mendekati dua orang tersebut, lalu dengan tenang membuka mulutku.


“Tunggu sebentar.”


Suara ku menarik perhatian mereka yang hampir saja terlibat dalam perkelahian, yaitu Marika dan guru pembimbing.


Wajah Marika terlihat curiga, seolah-olah bertanya-tanya, ‘siapa orang ini?’


Wajah guru dengan jaket olahraga itu menyimpang dengan jelek.


--- Apakah perlu menunjukkan ekspresi seperti itu di depan siswa?


Di hadapan guru yang menunjukkan rasa jijik, aku juga merasa merendahkan kalau aku juga merendahkannya.


… Namun, sejujurnya, aku bisa memahami perasaan sang guru, meskipun dia merasa sedih dengan situasi ini.


Guru ini membenci ku. Seperti ular yang berbisa.


Aku sendiri juga membenci guru ini. Perselisihan di antara mereka adalah saling bertukar sikap.


Karena aku bukan siswa yang nakal. Seharusnya tidak ada alasan bagi guru pembimbing untuk menghukumku.


Namun, guru dengan jaket olahraga ini selalu mencari kesempatan untuk memberikan ceramah kepada para siswa yang tidak dia sukai.


Meskipun aku mengakui bahwa guru ini konsisten dalam sikapnya terhadap siapa pun, tetapi tentu saja itu menyebalkan. Tidak mungkin aku merasa simpati.


Sudahlah, mari kembali ke inti masalah keributan ini.


Saat dia mencurigai perilaku, aku menegur Marika yang terlibat dalam perkelahian sambil berbicara.


“Kariya, apakah kamu membela wanita ini?”


“Perhatikan cara bicaramu …”


Suara asli keluar dari mulutnya dengan perlahan. Untungnya, sepertinya guru yang berusia disana tidak mendengarnya.


Marika adalah teman sekelas ku, jadi pria ini bukan guru yang bertanggung jawab mengajar kelas kami.


Namun, tidak peduli apakah dia guru yang mengajar kelas kami atau bukan, ini tetap berhubungan antara guru dan siswa.


Menurut ku, panggilan “wanita ini” tidak sesuai sebagai panggilan yang digunakan guru kepada siswanya.


Kebanggaan yang terpancar dari sikapnya yang keras adalah salah satu alasan mengapa guru ini tidak disukai oleh para siswa.


“Apa yang barusaja kamu katakan tadi?”


Setiap kali Tsutomu berhadapan dengan guru ini, dia merasa sangat lelah.


Tidak dapat menghindari kenyataan bahwa masih ada “guru” yang menyebutkan abad ke-21 ini di Jepang.


Meskipun mereka sudah mengalami zaman Heisei dan memasuki era Reiwa … pikiran pria ini sepertinya masih terhenti di zaman Showa yang didengarnya.


ED/N:

1. Zaman Heisei (1989-2019): Zaman Heisei dimulai pada tanggal 8 Januari 1989, saat Kaisar Akihito naik takhta, dan berakhir pada tanggal 30 April 2019 saat dia turun takhta. 

Selama periode ini, Jepang mengalami sejumlah peristiwa penting, termasuk periode ekonomi yang sulit, gempa bumi besar, dan perubahan sosial signifikan.


2. Zaman Shouwa (1926-1989): Zaman Shouwa dimulai pada tanggal 25 Desember 1926 saat Kaisar Hirohito naik takhta dan berakhir pada tanggal 7 Januari 1989 saat ia meninggal. 

Selama Zaman Shouwa, Jepang mengalami berbagai peristiwa, termasuk Perang Dunia II dan pertumbuhan ekonomi yang cepat setelah perang.


3. Zaman Reiwa (2019-sekarang): Zaman Reiwa dimulai pada tanggal 1 Mei 2019 saat Kaisar Naruhito naik takhta. Ini adalah era terbaru dalam sejarah Jepang. 

Nama "Reiwa" diambil dari puisi klasik Jepang dan berarti "keharmonisan." Era ini dimulai dengan harapan untuk menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan produktif. - Google

Maap panjang, lagi males ngeringkas 



Meskipun setelah mendengar semua yang guru itu katakan, aku masih berusaha menjaga ekspresiku agar tetap tenang.


Sambil berpura-pura memperbaiki posisi kacamataku, aku pun mulia berbicara


“Tidak, tidak ada masalah. Tapi lebih dari itu … suara pembicaraan kalian tadi terdengar sangat kasar dan aku merasa sedikit khawatir saat aku mendengarnya.”


“Kasar? Bagian mana dari perkataanku yang kasar? Wanita ini datang ke sekolah dengan dandanannya yang seperti ini. Sudah jelas ini adalah pelanggaran peraturan sekolah. Jika kamu tidak percaya, lihat saja buku catatan siswa. Jelas tertulis larangan untuk berdandan.”


“Aku sudah memeriksa buku catatan siswa. Aku tahu bahwa berdandan adalah pelanggaran aturan sekolah.”


“Oh, jadi kamu mengakui itu. Jadi, sebagai seorang guru pembimbing, aku hanya memberikan panduan agar mereka menghapus make-up yang melanggar peraturan sekolah. Apa masalahmu dengan itu? Kamu sengaja menyelidiki masalah ini dan datang untuk menggangguku?”


--- Seberapa pentingkah aturan sekolah ini?


Dengan melakukan percakapan dengan guru ini saja kepalaku sudah terasa berdenyut-denyut, ketika aku berhadapan dengan seorang guru yang terus-menerus mengecam ‘pelanggaran aturan sekolah’. Aturan sekolah hanyalah peraturan lokal yang ditetapkan untuk menjamin agar para siswa dapat menjalani kehidupan yang nyaman di sekolah. Jika aturan ini mengancam kehidupan sehari-hari yang sepele atau hak-hak siswa tanpa alasan yang jelas, apakah itu bukan merupakan akhir yang salah?


Menurut catatan siswa, aturan sekolah di sekolah ini sudah ditetapkan sejak lama. Beberapa dari aturan tersebut mungkin sudah tidak relevan lagi, dan ada juga beberapa siswa yang mengbaikan peraturan tanpa sepengetahuan siapa pun.


Pada dasarnya, aku tidak terlalu tertarik pada aturan sekolah. Aku tidak dapat mengatakan apakah riasan yang dipakai Marika itu sesuatu yang patut diperdebatkan atau tidak. Aku juga tidak bermaksud untuk membahasnya secara mendalam tentang benar atau salahnya aturan yang diterapkan oleh sekolah itu sendiri.


Namun… aku merasa tidak senang dengan cara guru-guru ini memanggil siswa ke markas yang mereka sebut ruang staf dan memaksa mereka dengan celaan dan teriakan yang berlebihan.


Mungkin aku hanya membenci para guru-guru itu, lebih dari itu aku tidak tahu.


Aku sedikit menyentuh posisi kacamataku dengan jari tengahku. Aku menyalakan sakelar pertempuran di dalam pikiranku.


“Memang benar. Mungkin Marika-san melanggar aturan sekolah… tapi apakah itu tidak bisa dianggap sebagai hal yang wajar?”


“Apa yang kamu bicarakan?”


“Apa yang ku bicarakan… eh, itu…”


--- Apakah matanya bisa berhenti menatapku seperti itu?


Bukan hanya siswa yang mendapatkan pembimbingan, tetapi sekarang bahkan pada Marika yang diserang oleh pandangan yang penuh dugaan. Itu sangat membingungkan. Aku tidak dapat segera menyebutkan namanya… tapi dia memutuskan untuk tidak memikirkan hal itu.


Aku tahu aku terlalu ikut campur urusan ini. Dia tidak ingin berterima kasih atas itu, karena dia tahu itu merupakan campur tangan yang tidak diinginkan.


Tetapi meskipun begitu, pandangan penuh permusuhan seperti itu sungguh menggangguku.


--- Namun, meski begitu, ini benar-benar menarik.


Berdasarkan apa yang dia dengar sejak tadi, terlihat bahwa Matsurika dengan sengaja menghindari argumen seperti “jika siswa lain juga merias diri untuk datang ke sekolah, maka mereka juga harus diawasi terlebih dahulu”. Itu bukan pendekatan yang disukainya.


Sederhana dan mengesankan.


“Marika Tachibana” adalah karakter yang membuat Tsutomu merasa bersimpati.


Itulah mengapa Tsutomu ikut campur dalam pembicaraan ini.


Meskipun dia tidak terlalu tertarik pada orang lain, dia tidak akan repot-repot berbicara atau bergerak untuk orang yang tidak menarik minatnya.


Tapi… kalau begitu, dia harus menyampaikan ini bukan hanya kepada Matsurika dan guru pembimbing, tetapi juga kepada orang lain yang berada di ruang staf ini.


Meskipun tidak suka menonjol, jika itu diperlukan untuk mencapai misi, aku tidak akan menahan diri.


Memanfaatkan kesenjangan untuk menarik perhatian. Ini juga adalah sebuah teknik.


Seperti yang diharapkan, semua yang ada di ruang staf yang sebelumnya mengamati Marika dan aku dari kejauhan, sekarang fokus pada kata-kata yang diucapkan oleh ku yang tiba-tiba ikut campur. Gerakan udara di dalam ruangan terasa jelas.


“Ya. Itu karena aku memiliki alasan.” jawab Ku.


“Hah, bodoh. Tidak mungkin ada alasan untuk membela siswa yang melanggar aturan sekolah.” timpal guru pembimbing sambil menyilangkan lengannya dan mengangkat dagunya dengan angkuh.


Meskipun sikap angkuh guru ini membuat ku kesal, aku menahannya. Jelas-jelas bahwa guru ini membenci ku. Bahkan guru ini tidak mau repot-repot untuk menyembunyikan rasa tidak nyaman sama sekali.


Aku sudah bisa membayangkan jika aku mengucapkan sesuatu yang tidak masuk akal, guru ini pasti akan memembalikan kata-kata dengan perkataan yang tidak masuk akal.


Selain itu, guru ini sepertinya percaya bahwa dia pasti akan menang dalam situasi ini. Dan memang seharusnya demikian, karena ada peraturan sekolah, dan Marika yang telah melanggarnya, sedangkan aku berusaha membela Marika yang jelas-jelas melanggar aturan sekolah.


--- Orang-orang selalu berkata “Kalahkan lawan setelah menang”. Ya, sekarang aku bahkan belum menang.


Dalam hati, aku mengedipkan mata dengan senyum puas. Tentu saja, aku masih menyembunyikan ekspresi itu di wajahku.


Ketika aku sedikit mengalihkan pandangan, mataku bertemu dengan mata hitam Marika.


Bibirnya yang terikat dengan pandangan tajam. Dia memperhatikan setiap gerakan dan kata-kata ku.


--- Aku tidak akan berbuat jahat. Meski … tapi aku juga tidak bisa menjamin ini akan berakhir dengan hasil yang diharapkan.


Aku tidak tahu banyak hal tentang “Marika Tachibana”. Yang ku tahu tentangnya hanyalah seputar penampilan dan latar belakangnya yang anggun.


Karena itu, dia tidak dapat memprediksi apakah strateginya akan disukai oleh Matsurika atau tidak.


--- Aku juga tidak begitu peduli bagaimana dia nentinya memandangku.


Tsutomu memutuskan untuk bersikap terbuka tentang hal itu. Biasanya Tsutomu memilih untuk tidak ikut campur urusan orang lain karena, Tsutomu adalah seorang individu yang menyukai kesendirian dan merasa nyaman dengan hal itu.


Apakah Tsutomu nantinya disukai atau tidak oleh orang-orang di kelas, itu bukan masalah baginya.


Tsutomu bukan tipe orang yang sensitif terhadap pandangan orang lain.


Aku sejak awal sudah tidak menyukai guru pembimbing yang telah mengganggu ruang staf selama ini. Aku juga merasa kesal karena dipanggil ke ruang staf hanya untuk masalah sepele selama istirahat makan siang.


Maka dari itu,aku berpikir untuk menyulitkan para guru yang ada di ruang staf ini dengan menggunakan Marika sebagai alat.


Itu saja. Itu hanyalah cara untuk meredakan rasa tidak puasku terhadap situasi ini. Aku hanya ingin melepaskan sedikit tekanan yang mengganggu ku dari tadi.


Jika diperhatikan semenjak aku mulai mengambil tindakan, kebisingan di ruang staf secara perlahan mereda.


Ku pikir waktunya sudah tepat. Aku membuka mulut dengan penuh perhatian.


“Marika-san memakai make-up dengan sungguh-sungguh karena ada alasan. Dan alasannya adalah… karena guru-guru yang seharusnya menjadi panutan bagi siswa, setiap hari dengan sangat antusias merias diri sebelum datang ke sekolah.”


Sejenak, setelah para guru di ruang staf mendengar apa yang ku katakan seluruh isi ruang membeku.


Tidak hanya mereka yang sedari tadi telah memperhatikan ketiga orang itu, bahkan orang-orang yang tadinya tampak tidak tertarik dengan keributan yang kami buat kini mulai gemetar.


“Tunggu sebentar, kenapa tiba-tiba kamu bicara tentang para guru?” tanya Matsurika dengan nada skeptis.


“Benar sekali. Mengapa kita tiba-tiba membahas para guru di sini?” seru guru berpakaian olahraga.


Kedua wanita itu saling pandang dan mengalihkan pandangan satu sama lain.


Situasi di mana hanya Matsurika dan teman-temannya yang menyadari perubahan di ruang staf ini terasa cukup menyenangkan. Tanpa menunjukkan rasa sinis yang menyimpang, mereka melanjutkan pembicaraan.


“Apakah kamu yakin ini tidak berhubungan dengan para guru di sini? Tachibana-san adalah siswa yang teladan. Jadi Tachibana-san berpikiran ‘jika guru yang patut dijadikan contoh, maka seharusnya aku juga ikut berdandan’ bukanlah pemikiran yang aneh.” ujar Matsuoka.


Guru adalah sosok tauladan yang harus diikuti oleh para siswa sebagai sosok yang lebih ‘dewasa’. Jika seorang guru berdandan, maka para siswa, sebagai ‘anak-anak’, harus meniru tingkah laku para guru.


Menurut desas-desus yang beredar, Matsuoka memang guru yang rajin, namun tidak bisa dikatakan sebagai contoh yang sempurna. Apakah guru harus menjadi contoh yang patut diikuti oleh siswa, itu masih bisa diperdebatkan.


Tetapi, bagi mereka yang menjadi guru, sulit untuk menolak pandangan ini karena hal tersebut akan membawa mereka pada pertanyaan mengenai eksistensi mereka sebagai seorang pendidik.


Meskipun ‘pendidikan’ yang menjadi tujuan dan eksistensi mereka dalam dunia pendidikan terdengar indah dan berarti, namun pada kenyataannya, ‘mendidik’ dan ‘mengajar’ cenderung berlangsung dalam satu arah dari posisi atas ke posisi bawah.


Dengan kata lain, guru melihat siswa sebagai anak yang belum matang.


Oleh karena itu, guru berpikir bahwa “siswa harus menghormati Guru dan menjadikan guru sebagai contoh.”


Meskipun hal ini tidak diucapkan dengan tegas, bahkan mungkin tidak disadari oleh guru-guru itu sendiri, namun pada akhirnya mereka tidak bisa menolak pandangan tersebut karena akan menyebabkan guru-guru ini meragukan diri sendiri.


Setelah apa yang Tsutomu katakan kantor staf menjadi hening.


“Tidak, masalahnya bukan itu. Kami adalah guru. Sedangakn aturan sekolah berlaku untuk kalian siswa-siswa saja.”

Kata Matsuoka menghindari perdebatan tentang apakah guru yang seharusnya menjadi tujuan siswa.


Tampaknya Matsuoka tidak bisa menghadapi diri sendiri yang baru saja merendahkan siswa.


“Jika kalian masih ingin membicarakan tentang itu, tidak masalah bagi kami.”


Tsutomu memperbaiki kacamatanya lagi dan menghidupkan kembali kekuatan hatinya.


“Sejujurnya, aku sudah mengira dari awal kalian akan terus membahas hal-hal sepele seperti ini saja.”


“Bukankah ini lebih dari sekadar masalah peran siswa atau guru? Ini bukan hanya tentang aturan sekolah juga.”

Kata Matsuoka sambil menelusuri buku catatan sekolah.


Tentu saja dia tahu bahwa aturan sekolah hanya berlaku untuk siswa.


“Memang peraturan sekolah harus dihormati. Tanpa peraturan, ketertiban kehidupan sekolah akan terganggu. Jika kontrol di dalam sekolah hilang, hanya akan berakhir dalam kehancuran.”


Matsuoka menunjukkan kartu as-nya dalam perdebatan, yaitu ‘peraturan sekolah’ yang menjadi ikon dari bimbingan siswa.


Meskipun guru-guru yang lebih tua mengerutkan keningnya, mereka mengangguk setuju seperti yang diharapkan Matsuoka.


Matsuoka melengkungkan sudut bibirnya dengan canggung, dan melanjutkan.


“Tetapi … di sekolah ini, tidak hanya berisi para siswa , tetapi juga para guru. Bayangkan saja, para siswa merasa ‘mereka sedang tertindas’, namun karena peraturan, mereka hanya bisa mengikutinya. Namun, di sisi lain, para guru yang seharusnya menjadi contoh, malah berpakaian sesuka hati dan merias wajahnya tanpa mempedulikan siapa pun. Meskipun berada di lingkungan yang sama, mereka tidak menghormati aturan yang sama.”


“Be… begitulah adanya…”


Pembimbing siswa terdiam, mungkin dia merenungkan sesuatu yang terasa cukup relevan.


“Kehidupan sekolah tidak hanya dibentuk oleh para siswa saja. Siswa dan guru bersama-sama menciptakannya. Maka, ketertiban juga seharusnya dibentuk dan ditujukan untuk bersama-sama.”


Para siswa mengikuti peraturan yang telah ditetapkan pihak sekolah sebagai tatanan ketertipan untuk kehidupan di lingkungan sekolah, sementara para guru sendiri yang merupakan panutan bagi parasiswa malah melanggar peraturan yang sudah ditetapkan tersebut.


Guru yang seharusnya menjadi contoh bagi siswa-siswanya, justru menunjukkan perilaku yang merusak ketertiban yang sudah ditetapkan.


Perilaku ini membuat semuanya terasa tidak konsisten.


Lalu bagaimana cara untuk membuat semuanya konsisten?


Jawabannya… tidaklah sulit.


“Itu benar bahwa Anda mengajar bahasa klasik dan bahasa Tiongkok, bukan begitu?”


Saat ditanya demikian, guru yang berusia lebih dari lima puluh tahun ragu-ragu mengangguk.


“Dan apa yang Anda ketahui tentang frasa ‘Mengawali dari Wei’?”


‘Mengawali dari Wei’ adalah frasa kiasan yang berasal dari zaman Perang di Tiongkok.


Intinya adalah “Untuk mencapai proyek besar, mulailah dari hal-hal yang dekat, dan dari orang yang pertama kali mengatakannya.”


Jika kalian ingin memaksa kami siswa-siswa untuk mengikuti peraturan sekolah, maka sebaiknya para guru juga harus mematuhi aturan tersebut.


Meskipun peraturan sekolah tidak melarangnya para guru, tapi umtuk membuat siswa mematuhi peraturan maka guru-guru juga harus mematuhi aturan tersebut.


Karena, guru adalah contoh yang harus diikuti oleh para siswa.


Tidak peduli jika itu melibatkan membawa makanan yang tidak diijinkan ke lingkungan sekolah, mengenakan ponsel yang dilarang, atau menggunakan riasan yang dilarang, guru juga harus bertindak sesuai aturan agar para siswa juga memetuhi peraturan yang sudah ditetapkan.


Para guru yang sedari tadi diam-diam mengawasi kejadian ini mulai merasa canggung dan berusaha mengalihkan tatapan mereka.


Karena semua yang telah dijelaskan berhubungan dengan mereka.


Meskipun dari tadi mereka dengan mudah mengkritik Matsuoka, jika kehidupan mereka yang terancam, mereka tidak bisa berdiam diri.


Menjadi pegawai sekolah tidaklah sama dengan menjadi seorang rohaniawan, mereka hanyalah pegawai biasa.


Dan pekerjaan ini diasumsikan berlangsung selama beberapa dekade. Kondisinya pun terbilang sangat sulit.


Menjaga sikap netral dan menghindari masalah akan menjadi lebih efisien daripada berurusan dengan segala hal dengan serius.


Itulah yang sebenarnya mereka pikiran. Tidak peduli seberapa banyak yang mereka pura-pura untuk menetupinya, didalam pikiran mereka tetaplah seperti itu.


Siruasi di ruang staf menjadi berubah drastis. Para guru yang seharusnya menjadi rekan Matsuoka kini berada di pihak lawan pembimbing siswa. Hanya guru berjas yang terus berada di tengah kekacauan dan tidak menyadari apa pun.


“Guru… bisakah aku bicara sebentar?”


Kepala sekolah tiba-tiba muncul, menginterupsi rencana Matsuoka.


Dia adalah seorang wanita dengan usia mirip dengan pembimbing siswa, beliau selalu menampilkan senyum lembut, tetapi kali ini, wajahnya menunjukkan ketegasan.


Sebagai pejabat sekolah di tempat yang cenderung mementingkan kenyamanan dan menghindari masalah, dia tidak bisa mengabaikan situasi saat ini.


Jika masalah muncul di sekolah, ini bisa mempengaruhi karir mereka sebagai guru. Dan bukan hanya siswa yang menjadi targetnya.


Belakangan ini, kasus-kasus pelecehan oleh guru di sekolah menjadi sorotan di berita dan media sosial.


Saat ini, guru pembimbing siswa baru menyadari keadaan yang tidak menguntungkan ini, kemudian dia dengan panik mencoba membela diri.


Ketika dia berbicara dengan Matsuoka dan siswa lainnya, kepala sekolah menunjukkan sikap yang sama sekali berbeda. Dia terlihat seperti seorang pelayan yang putus asa.


“Tidak, tidak, tunggu sebentar, Ibu Kepala Sekolah.”


“Tapi … bagaimana pun juga, mungkin masalh ini akan lebih baik jika diajukan dalam rapat staf mendatang, bukan?”


“Apakah guru lebih memilih membahasnya disini, apa bila guru memilih itu maka kita tidak perlu membahas lebih lanjut di sini, kan?”


“… Baiklah.”


Pembimbing siswa dengan pahit menganggukkan kepalanya, memandang Matsuoka dengan tatapan penuh amarah sebelum akhirnya pergi dengan rasa malu.


Kepala sekolah, yang mendapat penjelasan dari Matsuoka, mengangguk ringan, kemudian berpaling kembali ke Matsuoka dan siswa lainnya.


“Y-ya, itu benar…”


Pembimbing siswa menjadi terbata-bata. Mungkin karena dia menyadari bahwa ada banyak hal yang relevan dengan argumen tersebut.


“Kehidupan sekolah tidak hanya dibentuk oleh para siswa saja. Siswa dan guru bersama-sama menciptakannya agar keadaan lebih harmonis. Jika begitu, maka ketertiban juga harus dibentuk bersama-sama.”


Siswa mengikuti ketertiban yang ditetapkan dalam peraturan sekolah, sementara para guru melanggarnya, peraturan yang sudah ditetapkan itu.


Guru, yang seharusnya menjadi teladan bagi siswa, justru menunjukkan perilaku yang sebaliknya.


Ini tidaklah konsisten.


Lalu bagaimana caranya agar semuanya menjadi konsisten?


Sebenarnya jawabannya… tidak membutuhkan sesuatu yang rumit.


“Kalau tidak salah, guru mengajar bahasa klasik dan bahasa Tiongkok, bukan?”


Mendengar pertanyaanku, guru yang berusia lebih dari lima puluh tahun ragu-ragu mengangguk.


“Dan apa guru tahu tentang frasa ‘Mengawali dari Wei’?”


‘Mengawali dari Wei’ adalah frasa kiasan dari zaman Negara Perang di Tiongkok.


Intinya adalah “Untuk mencapai proyek besar, mulailah dari hal-hal yang dekat, dan dari orang yang pertama kali mengatakannya.”


Jika kita ingin memaksa siswa untuk mengikuti peraturan sekolah, maka sebagai seorang guru, mereka juga harus mematuhi peraturan tersebut.


Karena guru adalah contoh orang dewasa yang harus diikuti oleh para siswa.


Jangan abaikan adanya larangan membawa makanan yang dilarang oleh peraturan sekolah.


Berlakukan peraturan sekolah yang melarang penggunaan ponsel di jam-jam tertentu.


Tidak perbolehkan penggunaan riasan berlebih yang dilarang oleh peraturan sekolah.


Guru-guru yang tadinya dengan cemas mengamati situasi kini tampak canggung dan memaingkan wajah mereka untuk menghindari tatapan.


Semua hal yang dijelaskan adalah apa yang mereka lakukan sendiri.


Meskipun mereka dengan mudah mengkritik Matsuoka, tapi ketika hidup mereka yang terancam, mereka tidak bisa berdiam diri.


Pembimbing siswa mungkin sering kali terlihat tidak teratur dengan mengenakan jaket olahraga, tetapi dia adalah orang yang dapat dipercaya dalam tugasnya. Ini adalah hal yang diakui oleh BK.


Oleh karena itu… guru itu tidak menyadari gerakan hati rekan-rekannya.


“Kenapa situasinya harus seribet ini…”


“Kenapa perlu begitu serius?”


“Berhenti mengacaukan semuanya. Itu mengganggu.”


Meskipun tidak diucapkan, semua orang berkata begitu dengan tatapan mereka.


Guru bukanlah orang yang suci. Mereka hanya seorang pegawai biasa.


Selain itu, pekerjaan mereka di sekolah diasumsikan berlangsung selama beberapa dekade. Ini adalah kondisi yang sangat berat.


Menjaga jarak dengan kesulitan dan menghindari masalah lebih efisien daripada berusaha menjadi orang jujur dan berbicara dengan hati nurani.


Ini adalah pikiran yang sebenarnya. Tidak peduli seberapa banyak yang diakui, tetap saja begitu.


Atmosfer di ruang staf berubah dengan cepat. Guru yang berada di ruang staf seharusnya menjadi rekan Matsuoka sekarang berada di sisi lawan, pembimbing siswa. Satu-satunya guru yang tetap tidak menyadari apa pun adalah pembimbing olahraga yang tetap berada di tengah-tengah kekacauan.


“Maaf, bolehkah saya bicara sebentar, guru?”


Tiba-tiba, seorang kepala sekolah datang dan mencampuri rencana Matsuoka.


Dia adalah wanita dengan usia yang mirip dengan pembimbing siswa, selalu tersenyum lembut. Namun kali ini, wajahnya menunjukkan ketegasan.


Sebagai seorang pejabat sekolah di tempat yang cenderung menghindari masalah, dia tidak bisa mengabaikan situasi ini.


Jika ada masalah di sekolah, ini bisa berdampak pada karier mereka. Dan tidak hanya siswa yang menjadi sasaran.


Akhir-akhir ini, kasus-kasus pelecehan oleh guru di sekolah sering muncul di berita dan media sosial.


Pada saat ini, guru pembimbing siswa baru menyadari ketidakuntungan situasi ini, dia panik dan mencoba membela diri.


Ketika dia berbicara dengan Matsuoka dan siswa lainnya, sikapnya sama sekali berbeda. Dia terlihat seperti seorang pelayan yang putus asa.


“Tidak, tidak, tunggu sebentar, Bu Kepala Sekolah.”


“Tapi… bagaimanapun juga, mungkin lebih baik jika masalah ini diajukan dalam rapat staf, bukan?”


“Jika Anda mengerti, maka kita tidak perlu membahas lebih lanjut di sini, kan?”


“… Baiklah.”


Pembimbing siswa dengan penuh kekecewaan menganggukkan kepala, sambil memandang tajam Matsuoka, dia keluar dengan rasa malu.


Kepala sekolah, setelah mendapatkan penjelasan dari Matsuoka, mengangguk ringan, lalu kembali berpaling ke arah Matsuoka dan siswa lainnya. 


“Dan juga Tachibana-san. Saya akan menangani masalah ini untuk sementara waktu. Kalian berdua bisa pergi.”


“Baiklah.”


“…”


Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, hanya satu kata yang diucapkan.


Saat melihat jam, hampir selesai waktu istirahat siang.


Meskipun dipanggil oleh wali kelas dan diprekirakan akan bahwa hanya akan buang-buang waktu yang tidak berarti, Tsutomu berpikir bahwa yang dia alami tadi tidak buruk muncul.


Marika, yang merupakan salah satu pihak yang terlibat, menunjukkan ekspresi kecewa karena ditinggalkan.


Matanya tampak mengatakan, ‘Aku punya sesuatu yang ingin kukatakan,’ tetapi kali ini dia harus menahan diri untuk mengtakannya.


Ekspresi yang jarang terlihat di dalam kelas menjadi cukup menarik dan mengejutkan, karena ternyata terlihat menggemaskan.


“Tachibana…”


“Aku tahu.”


Ketika aku berbisik di telinga Marika sambil menarik lengan baju ringannya, Marika hanya menggelengkan kepala dengan rasa putus asa.


Dengan setiap gerakannya, rambut hitamnya yang mengkilap membentuk lengkungan yang indah.


Setiap gerakan yang dilakuakn gadis ini dapat menarik perhatian orang disekitarnya, dan aromanya yang melayang-layang membuat ku merasa gelisah.


“Kalau begitu, kami pergi.”


“Permisi.”


Tanpa mengucapkan lebih banyak kata, keduanya meninggalkan ruang staf.


Meninggalkan ruang staf dan berjalan di koridor dalam keheningan, Marika berjalan tanpa bicara. Aku mengikutinya dengan sedikit melambatkan langkahku di belakangnya.


Mereka berjalan kearah yang sama. Ini merupakan hal yang wajar karena mereka adalah teman sekelas.


Waktu istirahat siang yang berharga kini hampir berakhir, dan kelas pada sore harinya yang penuh dengan perjuangan melawan kantuk menanti mereka.


Meskipun langkah mereka tidak menjadi lebih ringan, aku terkesan dengan pemandangan di hadapanku.


“Oh, ini menarik.”


Melihat dunia dari belakang idol sekolah adalah pengalaman visual yang baru baginya.


Para siswa yang berjalan di koridor berkurang tanpa berbicara untuk memberikan ruang bagi mereka berdua untuk berjalan.


Ini seperti adegan di mana Musa yang terkenal dengan sepuluh perintah dari Alkitab membelah laut.


Tentu saja, ini bukanlah keajaiban dari Tuhan, dan tentu saja mereka tidak menghormati ku.


Siswa-siswa menghindar karena Marika menunjukkan sikap yang kuat dan percaya diri dama mengambil setiap langkahnya.


Melihatnya dari belakang, kakin putihnya yang lentur dan indah Marika sangat mempesona.


Gerakan kulit hitam rambut yang terlihat dari balik rok dan gerakan pantatnya, bahkan terlihat dari atas rok, semuanya sangat memikat.


“Oh, apakah dia memiliki tahi lalat di sana?”


Aku menemukan tahi lalat di belakang lutut kanan Makika, yang sebelumnya terlihat polos dan putih murni.


Lebih menyenangkan untuk melihat satu titik hitam daripada putih yang sepenuhnya murni.


Sebagai bagian yang sulit untuk diamati dari sudut dan jarak, hal ini memberikan perasaan gembira yang aneh.


“…. Hah. Ya… terima kasih.”


“Hmm?”


Marika tiba-tiba berhenti dan mengambil nafas panjang, dan tiba-tiba mengucapkan kata-kata terima kasih.


Butuh waktu sejenak untuk menyadari bahwa ucapan terima kasih itu ditujukan pada Tsutomu.


Aku merasa sedikit kikuk karena Marika, yang merupakan seorang gadis yang terkenal dan menjadi pusat perhatian di kelas, mengucapkan terima kasih secara langsungku


Meskipun bahasa yang digunakan tidak sepenuhnya formal seperti yang digunakan di ruang guru, Tsutomu merasa sedikit gelisah saat diberikan pengakuan seperti itu.


Matan Tsutomu tertarik pada mata hitam bersih milik Marika yang berkilauan di tengah wajahnya, dan Tsutomu berusaha menjaga ketenangan.


Tsutomu tidak punya waktu untuk memperbaiki posisi kacamata yang sudah tergelincir.



“Jangan terlalu dipikirkan. Aku dan teman-temanku memang sudah tidak akur sejak awal.”


“Oh begitu? Gariben… eh, maaf.”


‘Gariben’ adalah panggilan yang merujuk pada seseorang yang terlalu rajin belajar, dan dalam kasus ini, itu adalah julukan untuk Kariya Tsutomu.


Panggilan ‘Gariben’, yang merupakan penggabungan dari nama ‘Kariya Tsutomu, tanpa disadari telah menjadi panggilan yang akrab baginya.


Ketika pertama kali mendengarnya, aku merasa campuran antara terkejut dan mengerti, berpikir, ‘Siapa pun yang memberikan panggilan ini, pasti memiliki kemampuan untuk berpikir dengan cerdik.’


Namun, akhirnya, Marika berhenti memanggilnya ‘Gariben’, mungkin karena kepribadian terhormatnya.


Dia tampaknya berpikir bahwa ada kesan merendahkan pada panggilan tersebut.


“Aku berpikir, orang seperti Kariya-kun pasti dekat dengan guru.”


“Tidak sama sekali. Malah aku adalah siswa yang paling membenci para guru di sekolah ini.”


“… Benarkah?”


Di sekolah ini, kamu bisa melihat siswa yang memiliki perasaan negatif terhadap para guru di mana-mana.


Alasan mereka bermacam-macam, mulai dari keluhan-keluhan biasa, atau ketidakpuasan atas hukuman.


Namun, biasanya para siswa tidak menganggap keluhan-keluhan terlalu serius.


“Bolehkah aku bertanya mengapa begitu?”


“Tidak ada alasan yang khusus. Aku hanya meresa bahwa mereka tidak kompeten.”


Alasan Kariya membenci guru yang di dalam suang staf sangat sederhana.


Mereka tidak kompeten. Itulah satu kata yang bisa mewakili gambarannya.


Dia merasa harus belajar sendiri selama pelajaran karena tingkat pemahaman para guru di sekolah ini terbilang rendah.


Meskipun sekolah ini menyebut dirinya sebagai sekolah unggulan di wilayah ini, pada kenyataannya hanya sekolah negeri biasa.


Setelah beberapa waktu berlalu sejak dia masuk, dia menyadari hal ini dan merasa kecewa.


Meskipun dia tidak memiliki harapan tinggi terhadap para Sensi disini sejak awal, dia tetap merasa frustasi dengan pemikiran.

“Jika mereka mengaku sebagai sekolah unggulan, setidaknya mereka harus….” Yang tak pernah hilang.


Setelah itu, Kariya mulai membenci hampir semua guru di sekolah ini. Belum ada yang berubah dari sebelumnya.


“Mungkin kamu terlalu keras dalam perkataanmu? Jika kamu selalu menyesuaikan diri dengan Kariya-kun, yang lain mungkin tidak akan mengikuti.”


“Walaupun begitu, bagiku itu bukan alasan yang bisa diterima.”


Dengan sedikit emosi, aku menjawab pertanyaan tersebut.


Seolah menghembuskan napas panjang, dia berkata.

“Kamu membayar uang sekolah (keluarga kamu yang membayar), jadi kamu berhak mendapatkan pendidikan yang pantas, dan para guru berhak memberikan pelayanan pendidikan terbaik bagi para siswanya.”


Ini seperti mengatakan.

“Kamu membayar uang, jadi lakukan apa yang kamu mau.” yang tentu saja hal ini tidak dapat diterima dalam dunia pelayanan.


Sebagai seseorang yang bekerja paruh waktu di restoran, aku ingin mengeluarkan sejumlah keluhan tentang hal itu.


“Akankah Guru-guru ini membela mu karena mereka tidak menyukai orang-orang seperti Kariya-kun?”


“Tidak hanya itu, tapi ada alasan lain juga.”


Aku tidak menganggap diriku sebagai seorang jenius, jadi aku tidak mengoreksi pernyataan Marika.


Lebih tepatnya, aku tidak memiliki waktu untuk itu.


Melihat mata hitam besar yang mendekatinya dengan penuh perhatian, jantungku merasa tidak nyaman.


Aku memalingkan pandangan darinya dan dengan lembut menyentuh daguku sambil membuka mulutku.


“Ibuku…”


“Hei, apakah ada sesuatu yang terjadi dengan ibu Kariya-kun?”


“Mmm, dia bekerja keras sepanjang waktu, selalu berdandan agar terlihat cantik, meskipun aku tidak tahu apa hasilnya…”


“Dengan kata lain?”


“Tidak, bukan maksud ku begitu.”


Melihat reaksi Marika yang bingung, aku mengerutkan kening.


“Bukannya Kiriya-kun terlalu bergantung pada ibumu?”


“…”


Pergelangan kacamata yang sedikit tergelincir diperbaiki dengan jari tengah. Jari-jari ku gemetar karena kata-kata yang terlalu kasar.


“Ma-maaf, itu hanya lelucon. Jadi, bagaimana menurutmu?”


“Bagaimana…?”


Dia membalas pertanyaan itu dengan menoleh dan memandang ke arah yang jauh. Pandangannya tertuju pada ruang staf.


“Guru-guru yang di sana. Apakah mereka mengharapkan kami untuk menghapus make-up kami untuk menyesuaikan diri dengan mereka?”


“Tidak.”


Tsutomu memberikan jawaban langsung.


Aku bisa menyatakannya dengan yakin.


“Iya, benar juga.”


Marika juga setuju setuju dengan jawabanku.


“Separuh dari staf pengajar kami adalah wanita. Tidak mungkin bagi orang dewasa untuk datang ke tempat kerja tanpa menggunakan make-up.”


“Benar sekali.”


Aku sepenuhnya setuju. Karena guru bimbingan yang selalu memakai seragam olahraga dan terlalu terfokus pada para siswa, dia sama sekali tidak melihat apa yang dilakukan oleh rekan-rekannya.


Itu adalah celah besar dalam masah ini.


Apakah itu berpikir rasional atau meminta simpati dari orang lain, yang manapun itu sulit untuk mengubah pikiran para guru yang memegang kekuasaan di dalam sekolah.


Untuk menghadapi seorang guru dari posisi siswa adalah tidak efisien.


Karena itu, aku memanipulasi situasi agar para staf bertengkar satu sama lain.


Dia mencoba menarik perhatian siswa yang terlibat dalam berbagai pelanggaran aturan yang akan membuat mereka dihukum, sehingga situasi berimbas kepada para staf yang terlibat dalam konflik tersebut.


Meskipun tidak mungkin untuk “Siswa VS Guru.” tetapi dalam kasus “Guru VS Guru.” situasinya akan berbeda. Dalam pertempuran demokratis, jumlah orang memiliki peran yang sangat penting.


“Ternyata Kariya-kun cukup jahat, ya.”


“…Terima kasih, akan ku anggap sebagai pujian.”


“Ada sesuatu yang tidak terduga padamu. Berbeda dari citra yang ku bayangkan.”


“Lalu, apa citra yang kalian miliki tentangku?”


Marika tersenyum, mengangkat sudut bibirnya.


“Rahasia. Tapi… aku sangat berterima kasih. Aku pasti akan membayar utangku.”


Sambil meninggalkan senyumnya yang manis, Marika mulai berjalan lebih cepat meninggalkanku.


Dia tampaknya adalah sosok yang sulit diatur, tetapi dia memiliki penampilan seperti idola super yang sempurna.


Gerakannya yang cemerlang dan pesona alaminya secara alami menghipnotis mata dan perhatian siapa pun.


Gelar juara kontes kecantikan bukanlah sekedar omong kosong, senyumannya dari jarak dekat memiliki kekuatan hancur yang dasnyat.


“… Senyummu saja sudah cukup.”


“Apa yang kamu katakan? Jam istirahat hampir berakhir!”


“Kurasa kamu tidak terlalu banyak berdandan, itu yang aku maksud.”


“Karena aku menggunakan potensi alami ku dengan sebaik-baiknya.”


Dia berhenti sejenak, lalu berpaling dan memberikan isyarat dengan satu mata.


Kata-kata itu datang dengan keyakinan diri.


“Eh?”


“Tidak apa-apa. Sekarang ayo, pelajaran selanjutnya akan segera dimulai!”


“Apa yang baru saja kamu katakan?”


Tsutomu terkagum-kagum dengan sikap Marika yang terlalu percaya diri, aku tidak bisa berkata-kata saat melihat itu.


Dia menjawab dengan nada yang menganggap enteng, tanpa cela atau kesombongan. Tidak ada tanda-tanda narsisme.


Sikap penguasaan diri yang alami hingga batas yang tidak alami dari Marika membuat Kariya terkejut.


--- Hm baiklah.


Aku bukan tipe yang suka berurusan dengan gadis-gadis nyata.


Meskipun dia berpikir demikian, aku tidak merasa tidak senang.



0

Post a Comment