NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Jishui Danshi to Joshikousei - Volume 1 - Chapter 1.1 [IND]

 


Translator: Ryu:z

Editor: Rion

Chapter 1 - Pria yang Memasak dan Gadis SMA (part 1)



 Aku selalu berpikir, memasak itu sangatlah merepotkan. 

Setiap kali kulkas menjadi kosong, aku harus pergi berbelanja, dan karena aku memasak di rumah, tentu ada lebih banyak cucian kotor yang harus di bersihkan.

Sebenarnya, memasak sendiri sudah menyebalkan. Mengupas sayuran, menyiapkan daging, menyesuaikan panas, membumbui... melakukan semua itu, butuh waktu yang lama. Dan bahkan setelah melakukan semua upaya itu, hasilnya seringkali tidak lebih baik dari bento di toserba, atau bahkan lebih buruk dari makanan beku atau ramen instan. Aku benar-benar tidak tahan.

Itu sebabnya ada beberapa mahasiswa laki-laki sepertiku yang menolak untuk memasak.


Pergi keluar dan makan hamburger atau steak di restoran keluarga jauh lebih baik daripada makan nasi goreng hambar buatan sendiri, meskipun harganya sedikit lebih mahal. Pada umumnya, aku pun juga setuju dengan pemikiran seperti itu.

Memasak itu benar-benar merepotkan. Aku lebih suka tidak melakukannya. Mengumpulkan bahan sampai keranjang belanja penuh di supermarket terdekat itu menyebalkan, apalagi membawa tas ramah lingkungan yang berat sambil menaiki tangga di apartemen murahku itu terlalu melelahkan.

Tak berakhir disana. Setelah itu, aku juga harus menyimpan bahan makanan untuk seminggu...


"Aku merasa sangat bosan hanya dengan memikirkan untuk menyiapkan makan malam dari bahan di dalam lemari es."

(Ingin rasanya berhenti... tapi aku harus tetap melakukannya karena, yah aku sudah tidak punya uang lagi...)

Sambil memikirkan dompetku yang sudah jauh lebih ringan akibat berat bahan makanan di kedua lenganku, aku meratap dalam hati. 

Dompetku sekarang sudah dalam keadaan krisis, sampai-sampai rasanya tak punya bobot sama sekali, isinya cuman kebanyakan kertas struk belanja. Aku tak tahu lagi, apa yang akan terjadi jika dompetku menjadi lebih ringan lagi dari ini.

Sambil menghela nafas dengan sedih, aku akhirnya berhasil naik tangga dalam apartemen.

 Ruangan 106 di Utagane Heights, itulah tempat tinggalku saat ini.


Apartemen ini aku pilih karena sewanya yang murah, meskipun owner apartemen dengan rajin membersihkan, karena usianya yang cukup tua, rasanya masih sulit untuk menghindari nuansa usangnya. 

Meskipun ruangan tempat aku tinggal ini cukup bersih, tetapi kamar mandi dan toilet sangat sempit, dan mesin penghisap udara di dapur sangat bising, dan lagi masih banyak ketidaknyamanan lainnya. 

Dinding dalam kamar juga tipis, sehingga jika ingin mengundang teman dan membuat kebisingan, segera akan ada keluhan dari tetangga.

(By the way, seperti apa orang yang tinggal di sebelah ya...? Aku tidak terlalu mengigatnya dengan baik)

Sebelum itu, aku sebenarnya tidak tahu siapa saja yang tinggal di apartemen ini. Tentu saja aku bertemu dengan orang-orang di koridor dan tempat parkir sepeda, tetapi aku sama sekali tidak tahu siapa yang tinggal di sebelahku. 

Setahun yang lalu, saat aku pindah ke sini hampir bersamaan dengan waktu masuk universitas, aku malas mengunjungi orang dan berkenalan... ya, aku bahkan tidak tahu wajah tetanggaku.


"Meskipun mungkin memang tidak banyak hal yang bisa kulakukan untuk itu..."

(Hah? Apa itu...)

Pada saat itu, saat aku melirik ke arah yang aku tuju, aku melihat sosok asing di lorong yang kukenal dan menghentikan langkahku.

Berdiri di sana adalah seorang gadis. 

Mungkin seorang siswa SMA. Mengenakan apa yang tampak seperti seragam sekolah dari suatu sekolah, dia duduk di sudut lorong, memeluk lututnya yang menjulur dari bawah roknya.

(Aku ingin tahu apa ada yang salah dengannya... atau lebih tepatnya, kenapa auranya terasa sangat suram...?)

Aku merasa jatuh tertarik pada keadaan hati gadis yang terlihat kelam itu. Walaupun aku tidak tahu apa yang terjadi padanya, setidaknya aku tahu bahwa dia sedang merasa terpuruk.

Duduk di sini sambil memeluk lututnya seperti ini, mungkinkah dia juga penghuni apartemen ini? 

Oh ya, aku pikir aku pernah melihatnya sebelumnya, meskipun ingatanku hanya kabur. Karena aku bukan tipe orang yang sosialis, aku hanya merespons dengan senyuman saat bertemu tetangga di sekitar, jadi aku hanya memiliki ingatan samar tentang mereka. Aku merasa menyesal karena itu. 

Setelah berpikir sejenak, aku memutuskan untuk mencoba berbicara dengan gadis itu. Ini bukan karena aku merasa bersalah atau ingin menunjukkan kebaikan, tetapi hanya karena aku harus melewati di depannya untuk pulang, jadi aku akan mengucapkan beberapa kata secara sopan. 

Jika dia hanya menjawab "tidak ada masalah," aku bisa masuk ke dalam tanpa ada keraguan lebih lanjut.


''Uh, ada yang bisa aku bantu?''

"...eh?"

Setelah beberapa detik, gadis yang selama ini tertunduk mengangkat kepalanya lalu melihat kearahku.

Dia memiliki wajah yang cantik dan ekspresif. Lebih tepatnya, dia terlihat 'imut' daripada 'cantik'. 

Meskipun aku menduga kalau dia adalah siswa SMA dari penampilannya, tapi ada aura kepolosan yang menunjukkan bahwa dia mungkin masih siswi SMP atau baru saja masuk SMA kelas satu.

Aku tidak punya teman perempuan, bahkan di universitas, dan tentu saja jarang berbicara dengan gadis-gadis yang lebih muda. Paling-paling hanya berinteraksi ringan dengan junior di tempat kerja paruh waktu ataupun para pelanggan. 

Setelah berhasil menenangkan perasaan gugup yang muncul dengan aneh, gadis itu berkata dengan memandang ke bawah,


 ''Eh... jadi... sepertinya aku kehilangan kunci apartemenku di suatu tempat... Jadi aku tidak bisa masuk.''

Ah, jadi ternyata dia adalah tetanggaku yang tinggal di apartemen ini, dan dia tinggal di kamar 205. 

Mengetahui bahwa tetanggaku adalah seorang gadis cantik benar-benar mengejutkan.

Jadi, sepertinya dia hanya duduk di lorong karena dia tidak bisa masuk ke apartemen nya karena kunci yang hilang.

Apartemen Ini bukanlah apartemen mewah atau apapun, sehingga apartemen bobrok ini tidak memiliki fitur modern seperti kunci otomatis atau kunci elektronik.


"Um ... Apa kamu tahu di mana kamu mungkin menghilangkan nya?"

Tidak terbiasa bercakap-cakap dengan seseorang yang lebih muda, aku dengan malu-malu bertanya dengan nada lembut. 

Secara visual, aku mungkin tampak seperti orang mencurigakan yang berbicara dengan gadis SMA yang tidak dikenal, tapi mungkin ini masih lebih baik daripada hanya mengabaikannya.

Menanggapi pertanyaanku, gadis itu menggelengkan kepalanya dengan penuh tegas.


"Aku sudah mencari di mana pun yang dapat aku pikirkan, seperti tas dan saku jaket, tetapi aku masih tidak dapat menemukannya... Mungkin aku menjatuhkannya di suatu tempat."

"Begitu ya... Nah, kau harus menelepon pemilik gedung dan minta mereka membawa kunci cadangan. Apa kamu membawa ponselmu?"

"Aku memilikinya, tapi aku meninggalkannya di kamar. Pagi ini, aku sedang terburu-buru dan lupa..."

(Uhh, dia benar-benar dalam masalah...)

Di saat-saat ketika telepon umum menghilang, dia benar-benar dalam keadaan darurat. Jika aku berada dalam situasi yang sama, mungkin aku hanya akan duduk termenung dengan kepala di tangan untuk sementara waktu. Dengan pemikiran itu, aku mengeluarkan ponsel dari jaketku.


"Kalau begitu, haruskah aku mencoba menghubungi pemilik gedung? Aku juga tinggal di ruangan 206 di sana."

"Hah? Apa tidak masalah!?"

"Ya tentu saja."

"Oh, terima kasih banyak! aku sangat menghargainya!"

Seolah secercah harapan telah menyinari dirinya, ekspresi gadis itu bersinar. Dia adalah anak yang sangat mudah dibaca.

"Baiklah, tunggu sebentar,"

Sambil menunggu panggilan tersambung, aku melirik papan nama Kamar 205, yang bertuliskan "Asahi". 

Untungnya, panggilan terhubung dengan cepat. Ketika aku menjelaskan situasinya, jawabannya adalah, "Saya akan segera menuju ke sana." itu Benar-benar tanggapan yang luar biasa. 

Pemilik gedung di sini sudah cukup tua, jadi ada kekhawatiran tentang suara gemetar di telepon... Tapi berapa kira-kira waktu yang dimaksud dengan "segera" menurut standar kakek kakek

Bagaimanapun, setelah mengakhiri panggilan, aku menoleh ke gadis yang telah menunggu di sebelahku untuk panggilannya selesai.


"Pemilik gedung bilang dia akan segera datang. Mungkin dalam kurun waktu sekitar 30 menit... kurasa."

"Aku terselamatkan! Terima kasih banyak, Onii-san! Kamu sangat membantuku!"

"Ini... tidak apa-apa. Aku tidak benar-benar melakukan sesuatu yang signifikan."

Aku tersenyum kecut pada gadis yang berulang kali menundukkan kepalanya dengan suara penuh rasa terima kasih. 

Itu membuatku merasa agak tidak nyaman


"Kalau begitu, aku pergi."

"Ya! Terima kasih banyak, sungguh!"

Aku membuka pintu kamarku setelah mendapati senyum mempesona yang mengingatkanku pada pancaran sinar matahari. Meskipun ini bukan suatu yang besar, aku telah berhasil menyelesaikan masalah tersebut untuk saat ini

Dan kemudian, ketika aku hendak memasuki ruangan sambil berpikir, 'Baiklah, mari kita mulai makan malam' aku kembali melirik sekilas ke belakang, tepatnya kearah gadis itu.


"Apa ada sesuatu yang salah?"

"T-Tidak... tidak apa-apa."

Aku menjawab gadis yang terus memperhatikan itu.

Sampai saat aku hendak memasuki ruangan, aku berpikir sejenak...

Aku tidak tahu berapa lama sebenarnya kata 'segera' yang pemilik tua itu maksudkan. Tetapi entah kenapa, aku rasa dia tidak akan tiba dalam lima menit atapun lebih sedikit dari itu. 

Besar kemungkinan gadis ini akan berlutut di lorong ini lagi selama 10-20 menit, atau bahkan lebih lama tergantung situasinya. karena pemilik gedung itu memanglah sudah tua..

Aku mengerti bahwa lebih dari ini akan melampaui kebaikan dan menjadi bantuan yang tidak perlu, tetapi aku tidak bisa tidak khawatir, jadi aku menoleh ke gadis itu lagi dan berkata.


"Um ... jika kamu tidak keberatan, bisakah kamu menunggu di dalam apartemenku saja sampai pemilik gedung datang?"

"Hah? Di ruangan Onii-san?"

Aku tidak berpikir aku akan mengajukan proposal seperti itu.

Setelah aku mengatakan itu, aku memikirkannya kembali, bukankah akan lebih berbahaya bagi gadis SMA jika dia di undang oleh seorang pria yang tidak dia kenal? Apalagi jika mengajak masuk kedalam ruangannya? 

Tentu saja, aku bermaksud mengatakannya dengan niat baik nan murni, tetapi dari luar, orang mungkin curiga bahwa aku memiliki niat untuk membawa dia masuk untuk melakukan hal-hal terselubung. Jika aku adalah pihak ketiga, aku pasti akan berpikir seperti itu.

Meskipun aku menyesali ucapanku yang ceroboh, aku tidak bisa begitu saja mengatakan, 'Oh, tidak maksudku jangan datang, dan aku akan mendapat masalah jika kau melaporkanku.'

Yah, mungkin dia tidak akan menerima undangan seperti itu. Jadi mungkin dia hanya akan mengatakan, 'Tidak, tidak apa.' dan aku dapat menyelesaikan percakapan secara alami dengan, 'Begitukah?'.

Walaupun nanti mungkin gadis itu akan tetap memperlakukanku sebagai 'pria berbahaya' yang tiba-tiba mencoba membawa dia ke dalam ruanganku, tapi aku akan menerima rasa sakit hati semacam itu.

Ketika aku merasa lega bahwa entah bagaimana aku berhasil menahan diri di ambang kehancuran diri, gadis di sebelah menoleh kepadaku dengan mata ragu dan berkata.


"Apakah tidak apa-apa? Bukankah itu hanya akan merepotkanmu?"

"Eh.....?"

Aku menegang pada jawaban yang berbeda dari yang kuharapkan. Meskipun aku mengundangnya untuk masuk, itu adalah reaksi yang mengerikan.

Terkejut karena tidak langsung ditolak, aku buru-buru mengembalikannya ke gadis yang menatapku.


"Yah, tidak apa-apa. Pasti melelahkan menunggu di lorong, jadi jika kamu tidak keberatan kamu bisa menunggu di ruanganku.."

"Terima kasih."

(Hah? Serius?)

Tidak pernah terpikir olehku bahwa aku akan benar-benar mengajak seorang gadis SMA untuk masuk kedalam tempatku, hatiku sangat terguncang. 

Aku berpikir seharusnya seorang gadis tidak pergi ke tempat pria misterius yang baru dia temui untuk pertama kalinya seperti ini, gadis ini... .

Meski begitu, aku juga tidak bisa menegurnya karena aku sendiri lah yang mengundangnya. Aku tidak pernah mengajak seorang gadis pun untuk memasuki ruanganku sebelumnya, Kecuali ibu ku, ini pertama kalinya aku membiarkan lawan jenis masuk ke rumahku seperti ini, tapi tidak ada yang salah dengan itu. Seharusnya tidak...


"Mari, silakan. Maaf berantakan, tapi kamu bisa santai sesukamu."

Sambil melontarkan frasa umum seperti itu, aku membiarkan tetanggaku melewati pintu depan. 

Strukturnya mungkin sama dengan kamar sebelah, tapi gadis itu menggerakkan wajahnya dengan gelisah seolah-olah dia sedang melihat sesuatu yang tidak biasa.

Apartemen ini disebut properti 1LDK, jadi hanya ada satu kamar. Ruangan ini memiliki luas sekitar enam tatami dengan dapur yang menyatu dalam lorong. Kamar mandi dan toilet terpisah. Ada balkon di sisi yang menghadap ke area kosong yang cukup besar sehingga mendapatkan sinar matahari yang baik, tetapi di musim panas sering kali dihinggapi oleh banyak serangga, yang menjadi satu-satunya kelemahannya.


"Permisi......"

Dengan tatapan malu-malu, gadis itu berjalan ke lorong lantai kayu dari pintu masuk.

Hari sudah mulai gelap sehingga ruangan cukup gelap. Aku mengikuti cahaya redup yang dipancarkan oleh bola lampu mini dari lampu di langit-langit sebagai panduan dan berjalan menyusuri koridor pendek, dan menekan saklar lampu yang berada di dinding. Setelah lampu di langit-langit berkedip beberapa kali, ruangan tiba-tiba menjadi terang.

Sulit untuk mengatakan bahwa kamar kecil tempat tinggal seorang mahasiswa ini rapi. Aku jarang merapikan barang harianku. jadi disekeliling meja terdapat bahan ajaran dan resume yang aku gunakan di kelas ditumpuk sembarangan, futon dilipat begitu saja dan diletakkan di pojok. Untungnya, tidak banyak barang, jadi sepertinya masih ada tempat untuk melangkah!


"Wow..."

Gadis itu melihat sekeliling kamarku dan mengatakan.'wow'

Apa yang dia maksud dengan 'wow'?


"Ah... jika kamu mau, duduklah di sini." kataku dengan canggung.

"Ah, maaf. Terima kasih banyak." 

Gadis itu berbicara dengan nada sopan sambil duduk di atas bantal. 

Melihat gadis itu menatap ruang pribadiku, aku merasa sangat malu. 

Aku merapikan sekitar meja dengan cepat dan memberikan bantal kepadanya. Gadis itu duduk dengan punggung tegak dan bersila dengan sopan, seperti anjing kecil yang cerdas.


"Aku harap pemilik gedung segera datang." 

"Ya, semoga saja..."

"......Eh?"

"......Eh, um... apa kamu ingin minum? Jika kamu merasa haus, kamu bisa minum ini."

"T-Terimakasih."

Kami memiliki suasana yang sangat canggung. 

Apakah ini jenis suasana yang akan kau dapatkan saat sendirian di ruang kecil dengan seseorang yang baru saja ditemui? Lebih memalukan lagi bahwa gadis itu menggigit lidahnya hingga wajahnya berubah menjadi merah padam. 

Daripada itu, tepat sebelum aku mengundang seseorang ke rumahku, aku berpikir tidak sopan untuk tidak menyajikan teh, jadi aku menyajikan jus sayuran yang baru saja kubeli, tetapi apakah ini adalah hal yang benar untuk dilakukan? Tapi aku tidak selalu memiliki teh jelai atau teh hijau di lemari es ku.

Jadi, pilihan yang ada hanya ini atau kopi, atau beberapa minuman beralkohol yang ditinggalkan teman-temanku yang suka minum. 

Tentu saja, alkohol tidak masuk pertimbangan, dan bagi seorang siswi SMA, mungkin tidak semua orang suka kopi. Jadi, pilihan terbaik adalah jus sayuran yang manis dan mudah diminum.


"Kalau begitu, aku akan menyiapkan makan malam di dapur. jadi Jangan khawatir tentang itu dan bersantai santai saja."

"Eh? Ah... terima kasih banyak." 

Tidak tahan dengan keheningan yang canggung, aku keluar seolah-olah melarikan diri. 

Aku bahkan mencari alasan dalam pikiranku seperti ',Aku harus menyimpan barang-barang yang baru saja dibeli di dalam lemari es.' Ini benar-benar terlihat tidak keren. 

Gadis itu mungkin tidak mengharapkan akan ditinggalkan begitu saja, karena dia memerlukan sejenak sebelum menjawab. 

Mungkin wajar jika dia bingung, tapi aku yakin dia merasa lebih nyaman sendirian daripada bersama denganku. Yah... Aku tidak punya pilihan selain percaya dengan pemikiran itu.


"Sekarang..."

Aku membuka pintu kulkas kecil untuk satu orang dan masukkan bahan-bahan ke dalamnya. Dengan kurang dari seminggu sampai gaji pekerjaan paruh waktuku, aku membeli kecambah dan daging asap dengan sisa biaya makan, dan sekotak telur yang kubeli dengan harga penuh karena aku melewatkan waktu diskonnya. 

Selebihnya adalah roti untuk sarapan, aneka bumbu, dan makanan instan seperti mi cup dan mi udon beku.

Kalau dipikir-pikir, aku ingat bahwa aku belum mencuci tanganku sebelum aku menyimpan bahan-bahan dan mulai menyiapkan makan malam.

Sambil mencuci tangan di wastafel dengan sisa piring di dalamnya, aku melihat gadis yang berada di ruang tamu. Meski begitu, aku tidak bisa melihat sosoknya dari posisi ini.

Ini sudah jam setengah tujuh. Biasanya, aku tidak memasak di rumah dan aku hanya akan makan mie instan, tapi jika memungkinkan, aku ingin tinggal di sini sampai dia pergi. 

Kecanggungan dari sebelumnya jauh melebihi kerumitan saat memasak sendiri.


TL/N: yg sering gua lakuin tuh ketika di rumah ada tamu dan keadaan gua sendirian dirumah, gua kata izin ke toilet. Tapi, gua pasti bakalan nongkorng di toilet lama.


(Telur mata sapi dan bacon serta tumis ringan. Haruskah aku membuatnya?)

Ketika seseorang mengatakan bahwa mereka memasak sendiri, sering kali dianggap bahwa mereka adalah ahli masak. 

Tapi menurutku, ada perbedaan antara 'memasak sendiri' dan 'ahli memasak'. 

Dalam kasus ekstrem, jika seseorang hanya merebus nasi untuk dimakan, itu juga bisa dianggap sebagai 'memasak sendiri' tetapi itu tidak berarti orang tersebut dianggap sebagai 'ahli masak'. Itulah arti yang sebenarnya.

Sudah sekitar setengah tahun sejak aku mulai memasak untuk diriku sendiri, tetapi aku masih belum bisa membuat satu pun hidangan yang rumit. 

Aku pun tidak ada rencana untuk membuatnya di masa depan. Memasak sendiri adalah sesuatu yang tidak bisa tidak kulakukan karena alasan menyedihkan untuk mengurangi pengeluaran biaya makanan, dan dengan kata lain, jika perut kenyang, maka apapun tidak apa bagiku. 

Tidak mungkin seseorang bisa meningkatkan skill memasak dengan sikap seperti itu.

Oleh karena itu, yang bisa aku masak adalah hidangan panggang atau tumis yang bisa dimasak dengan satu panci. 

Aku juga bisa memasak hidangan seperti kari atau sup yang memiliki instruksi pada kemasan. Tentu saja, jika aku mencari resep online di internet maupun youtube, aku mungkin bisa menambahkan berbagai hidangan, tetapi sayangnya, aku tidak memiliki semangat atau waktu untuk itu.


TL/N: ngomongin tentang youtube, tolong lah bantu subscribe chanel gua. nama chanel gua RYU:z


Sayangnya, aku tidak memiliki hasrat untuk menghabiskan waktu dan tenaga seperti itu.


"Oke, mari kita mulai."

Aku mengeluarkan daging asap (bacon) dan telur yang diiris tipis dari lemari es. 

Bacon yang kubeli kali ini adalah jenis yang dibagi dalam porsi kecil, dan satu bungkus berisi empat potong. 

Bacon, yang bisa disajikan sendiri sebagai lauk, merupakan pendamping yang baik bagi mereka yang tinggal sendiri. 

Telur, tentu saja, adalah legenda di dunia makanan, yang menawarkan keserbagunaan kelas atas dari semua bahannya. Untuk makan malam, aku akan menggabungkan keduanya menjadi telur bacon.


Menempatkan wajan murah di atas kompor gas, nyalakan dan mulai memasak. Tidak perlu menjelaskan cara membuat telur bacon. 

Cukup tambahkan kecap dan telur mentah di atas bacon dan panggang sampai kuning telur mencapai kekenyalan yang diinginkan. Aku bisa menggunakan bumbu apa saja, dari kecap hingga saus tomat.

Kesegaran telur kali ini bagus, jadi kuning telurnya setengah matang. Karena bacon memiliki rasa asin yang kuat, bacon harus dibumbui sedikit dengan garam dan merica.

(Bacon hari ini banyak lemaknya... sepertinya tidak perlu minyak sayur.)

Aku letakkan bacon di atas wajan yang sudah dipanaskan dan memanaskan dengan api kecil. 

Setelah memecahkan dua telur ke dalamnya, yang harus kulakukan hanyalah menutupnya dan menunggu beberapa saat. Kupikir ibuku dulu menambahkan air sebelum memasang tutupnya, tetapi aku tidak akan mengikutinya karena itu merepotkan. 

(Aku suka bau telur yang sedang digoreng...bagaimana mengatakannya ya? Bagiku, baunya selalu membuatku lapar)

Sambil mendengarkan suara bacon dan telur yang perlahan matang, aku berpikir dengan hampa. Aroma unik ini sulit untuk dijelaskan. 

Aku hanya bisa menggambarkannya sebagai bau telur yang sedang digoreng. Aneh rasanya aku merasa lapar begitu aku berdiri di dapur yang dipenuhi bau ini, padahal sampai sekarang aku tidak merasa begitu lapar.

Bagaimanapun, aku memindahkan bacon dan telur yang telah tergoreng dengan baik ke piring, dengan kuning telur yang setengah matang. 

Satu telur menggunakan dua potong bacon, hidangan yang sedikit mewah. 

Ini adalah momen ketika aku mencampurnya dengan nasi putih, aku akan menyebutnya "kebahagiaan."

Kemudian, aku menggoreng tauge. Aku mengambil satu bungkus tauge yang dijual seharga 29 yen per bungkus, mencucinya dengan cepat, lalu meletakkannya ke dalam wajan yang sama, dengan api besar. 

Meneteskan sedikit minyak wijen juga tidak buruk. Aku akan membumbui dengan saus yakiniku hari ini, jadi ini sudah cukup.


Tauge adalah sayuran yang murah, enak, dan mudah dimakan. 

Aku sering memasaknya dengan cara ini, dan kadang-kadang menjadikannya bahan untuk sup miso. 

Ini juga bisa menjadi lauk untuk makanan ringan seperti kimchi atau salad namul jika ingin minum alkohol. 

Ini adalah bahan serbaguna lainnya selain telur.

Dan jika diberi rasa dengan saus yakiniku, itu bisa menjadi hidangan utama. Aku sering membuatnya menjadi semacam "'donburi palsu' dengan menempatkan tauge dan daging babi yang dimasak dengan saus panggang di atas nasi. 

Meskipun aku tidak menggunakan daging babi kali ini, aku tidak akan mengeluh karena bisa mendapatkan protein dari bacon dan telur. 

Aku menggunakan seluruh bungkus tauge, jadi jumlahnya lumayan. Di dunia ini, terkadang jumlah lebih penting daripada kualitas.

(Ini sudah selesai... Oh ya, masih ada sisa sup miso dari kemarin... Tunggu dulu?)

Aku tiba-tiba merasakan tatapan seseorang padaku dan mengalihkan pandanganku ke arah ruangan.


"........."

"Woah!?"

Ketika aku menyadari bahwa gadis yang seharusnya menunggu di ruang tamu sedang menatapku dari balik kusen pintu, aku terkejut melihatnya. aku bertanya-tanya, apa yang gadis ini lakukan...?


"Ah, Asahi-san? Ada apa?"

"Hah!!?Maaf, aku menatapmu!? Maaf, aroma makanan ini tercium dan aku tak bisa menahan diri untuk melihatnya!"

"Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf, tapi ..."

Sebaliknya, akulah yang meninggalkan tamuku sendirian dan melarikan diri ke dapur. 

Mungkin karena aku membiarkannya sendirian, justru membuatnya merasa khawatir, pikirku sambil mencoba memindahkan dua piring yang sudah jadi ke tempat yang tidak mengganggu. Tapi--pada saat itu...


"......."



Post a Comment

Post a Comment