NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Menhera ga Aisai Epuron ni Kigae Tara - Volume 1 - Chapter 1.3 [IND]

 


Translator: Yanz

Editor: Editor 

Chapter 1 - Jika Kau Bertemu Dengan Gadis Menhera (part 3)



 "Sekarang, aku harus bekerja selama lima jam lagi..."

Setelah menyelesaikan kuliah pada jam ketiga, aku kembali ke apartemen sebentar, mengganti isi tas dari buku materi ke seragam, lalu pergi menuju ke minimarket tempat aku bekerja.

Meskipun minimarket itu hanya sekitar lima belas menit berjalan kaki dari apartemenku, pada jam-jam ini, banyak mahasiswa dari kampus lain yang datang berbelanja. 

Meskipun begitu, bagiku yang awalnya tidak memiliki banyak teman, itu bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.


"Selamat pagi!"

"Selamat pagi."

Ketika aku memasuki kantor di belakang meja kasir, Chitose, yang datang bekerja lebih awal, menyambutku dengan senyuman hangat. Aku membalas salamnya sesuai dengan kebutuhan.

Setelah menerima laporan penggantian shift dari pegawai sebelumnya, Chitose dan aku masuk ke dalam counter kasir seperti biasa.

"Kau sungguh menyelamatkanku, tahu? Si anak baru itu tidak tahu nomor telepon siapapun selain aku dan manajer, jadi aku benar-benar khawatir. Hari ini manajer juga tidak ada, jadi aku benar-benar khawatir harus berbuat apa."

"Jika aku tidak bisa datang, apa yang akan kau lakukan?"

"Jika itu terjadi, aku akan menghubungi semua teman kerja lainnya."

"Kau benar-benar peduli, ya. Meskipun kita masih belum mengenalnya dengan baik."

"Jika ada masalah, sudah sepatutnya kita saling membantu, bukan?"

Sifat seperti itu mungkin adalah salah satu alasan mengapa Chitose sangat populer, baik di kalangan pria maupun wanita. 

Sementara biasanya, orang yang tampan atau cantik sering kali memicu rasa iri di kalangan sesama jenis, Chitose, meskipun tidak pernah melakukan hal buruk kepada siapa pun, kadang selalu memiliki banyak masalah tanpa disadari.

Tapi setelah seseorang benar-benar berinteraksi dengan Chitose, kepribadiannya yang luar biasa dan ramah berhasil menaklukkan siapa pun yang berurusan dengannya. 

Tingkat kepopuleran seperti Chitose tidak akan pernah tercapai hanya melalui penampilan fisik.

Chitose sebenarnya cukup sempurna sehingga dia bisa menjadi incaran semua orang, baik pria maupun wanita. Namun, sangat mengejutkan bahwa dia belum memiliki pacar. 

Jika saja aku bukan teman masa kecil Chitose, mungkin aku juga pasti tertarik padanya, seperti yang dikatakan Hirofumi. Namun, jika itu kasusnya, kemungkinan besar kami bahkan tidak akan pernah berinteraksi satu sama lain.


"Shin-chan sering mengatakan kalau aku 'baik hati,' tapi kurasa kau juga baik hati, bukan?" 

"Aku hanya sulit menolak saat diminta." 

"Kalau Shin-chan dalam posisi yang sama sepertiku hari ini, kau pasti akan melakukan hal yang sama, kan?" 

"Mungkin begitu." 

"Jadi, Shin-chan juga baik hati sepertiku. Haruskah aku mentraktirmu sake sebagai ucapan terima kasih atas pergantian shift?" 

"Jangan tawarkan alkohol kepada mereka yang di bawah usia dua puluh tahun." 

Perasaan bahwa kita harus membantu jika seseorang dalam kesulitan telah tumbuh sejak aku kecil, karena aku tumbuh besar bersama dengan Chitose. Itu sebabnya dia benar-benar memahami kepribadianku.

"Itu semua benar. Mari lupakan saja, jadi apa barangnya sudah tiba?" 

Aku meluruskan punggungku dan melihat keluar dari jendela. 

"Truk pengiriman sudah pergi tadi, jadi kupikir kita bisa mulai pemeriksaannya sekarang." 

"Jika begitu, aku akan pergi hari ini. Panggil aku jika antrean di kasir panjang." 

Aku keluar dari meja kasir dan menuju ke area belakang. 

Saat aku membuka pintu dan melihat ke dalam, aku melihat banyak kotak karton yang ditumpuk di atas kereta dorong. 

Jumlah pengiriman pada hari Selasa jauh lebih banyak dibandingkan dengan hari-hari lainnya. 


"Sepertinya ini akan memakan waktu lebih lama dari biasanya huh..." 

Aku masuk ke area belakang dan melihat barang pengiriman sebelum mulai memeriksanya. 

Aku bekerja tanpa suara selama beberapa waktu. 

Tapi, saat pada akhirnya aku hampir selesai, tiba-tiba bel berdentang di seluruh toko, termasuk di area belakang. 

"Ahh, padahal tinggal sedikit lagi..." 

Bunyi bel adalah panggilan dari Chitose di kasir, mengindikasikan bahwa ada antrian panjang di sana. 

Aku menghentikan pekerjaan sejenak dan segera berjalan menuju lantai penjualan.

Saat aku melihat ke meja kasir, aku hanya bisa bergumam pelan, "Uhh..." 

Kapan pelanggan sebanyak ini masuk? 

Mungkin aku terlalu fokus dalam pemeriksaan sampai-sampai tidak mendengar suara masuknya pelanggan. 

Saat aku berlari kearah kasir, sudah ada antrean panjang disana. 

Kebanyakan dari mereka adalah kelompok pekerja konstruksi yang mengenakan seragam yang terkena noda cat dan juga pelajar-pelajar yang baru saja pulang sekolah.

Chitose terlihat sibuk di kasir, karena nampaknya ada banyak pelanggan yang ingin menghangatkan makanan bento mereka, sehingga antrian pelanggan menjadi terhenti. 

Aku memutuskan untuk membagi antrian pelanggan menjadi dua, dan membuka pintu di kasir lainnya, lalu berdiri di sana. Dengan bantuan Chitose di sisi lain, kami berdua mulai melayani pelanggan dengan lancar. 

Baik aku maupun Chitose tidak punya waktu untuk melihat wajah setiap pelanggan. Kami hanya fokus pada gerakan pelanggan dan produk yang diletakkan di atas meja kasir. 

Ada bento, onigiri, mie instan, roti, minuman beralkohol, makanan ringan, dan tentu saja, rokok. Mayoritas pelanggan cenderung membeli barang-barang yang sama dengan yang lainnya.

Namun, pada satu saat, perhatianku terganggu. 

Ketika hanya satu produk yang diletakkan di depanku, konsentrasiku seketika terpecah.


"....Kondom...?"

Bahkan aku merasa reaksi ini mirip dengan seorang siswa SMA di puncak masa remaja.

Aku mengangkat wajah dan melihat siapa pelanggan yang membawa produk itu.

"...."

Berdiri dihadapanku, seorang SMA dalam balutan seifuku-nya yang khas. Aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena malu, tetapi dia dengan bangga meletakkan sebuah kotak kondom di atas meja kasir.

Tidak ada orang di belakang siswi itu. Tiba-tiba aku menyadari bahwa dia adalah pelanggan terakhir dalam antrian panjang sebelumnya.


"..."

"....Umm."

Aku membeku selama beberapa detik, kemudian siswi di depanku mulai berbicara.

"Cepatlah, hitung harganya."

Suara memiliki kesan ketenangan luar biasa, hampir tidak terdengar panik. Atau mungkin lebih tepatnya, bukan hanya tenang, tapi suaranya terdengar dingin dan tanpa semangat, seperti suara seseorang yang sudah kehilangan semangat hidup.

"Maaf...," kataku panik sambil membungkukkan kepala dan memindai 'produk' yang dia beli dengan pembaca kode batang.

"Um, apakah kamu mau menggunakan kantong kertas...?"

"Tidak perlu, aku hanya butuh satu kantong plastik saja."

"Baiklah... totalnya adalah 600 yen..."

Saat siswi itu mulai mengambil isi dompetnya, aku mengambil kantong plastik dan meletakkan kotak kondom di dalamnya.

"Ini produknya..."

Aku menggantungkan pegangan kantong plastik pada jari telunjuk dan jari tengahnya yang terulur.

Pada saat itu, aku merasakan sesuatu yang sangat aneh pada tangan gadis itu. Ujung jari-jarinya dipenuhi dengan banyak plester medis. 

Bukan jumlah biasa yang mungkin disebabkan oleh kecelakaan saat memasak. 

Seakan dia mencoba menyembunyikan sesuatu, hampir seluruh ujung jarinya tertutup plester medis.


"............"

Ada kegelisahan dalam dadaku, dan sesuatu mulai mencuat didalam benakku. Dengan hati-hati, aku mengangkat kepala dan mencoba melihat wajah gadis SMA yang ada di depanku.

"............ Ah."

Sebuah kata terlepas dari bibirku. 

Wajah gadis SMA dalam seragam itu ternyata cukup tidak asing olehku. 



Teman atau bahkan kenalan bukanlah istilah yang tepat. 

Hubungannya jauh lebih tipis daripada itu. 

Bisa dibilang kami tak punya hubungan sama sekali. Bahkan, kami belum pernah berbicara sekalipun.

Namun, meski begitu, kehadirannya tetap terpatri dalam ingatanku.


"Kotosaka...-san?" 

Nama belakangnya muncul di benakku dengan cepat, dan aku tanpa sadar mengucapkannya. 

Aku ingat rambut putih kelabu yang menarik perhatian semua orang, meskipun hubungan kami sangat minim.

Dia adalah mahasiswa yang duduk di kursi di depanku dan Hirofumi selama kelas kedua hari ini. 

Kulit putih yang hampir seperti boneka, dibungkus dengan eyeshadow merah yang mencolok di sekitar mata.

Tidak mungkin aku salah. Itu benar-benar dia.

Seorang mahasiswi dengan riasan lengkap dan gaya pakaian 'Jirai Kei' nya yang khas.

Saat dia mendengar suaraku, dia menatap mataku dengan tajam seolah-olah bertanya, "Bagaiman bisa kau tahu namaku?"

Di hadapannya, aku merasa bingung.

Kenapa Kotosaka mengenakan seragam SMA?

Pikiranku berputar dan aku mulai mengingat-ingatnya satu per satu. Lalu kemudian, aku segera menemukan jawabannya.

Peristiwa yang terjadi kemarin serta hari ini kembali terlintas dalam pikiranku ---sepotong percakapan dengan Hirofumi tadi--- terbayang kembali. 

Seifuku yang Kotosaka kenakan sekarang, aku juga sudah melihatnya beberapa jam yang lalu.

Meskipun gambar gadis yang aku lihat di Twitter memiliki rambut hitam, tidak ada keraguan bahwa itu adalah dia.


"...'Kotone'... sedang mencari... sugar daddy---" 

Aku hampir saja mengatakan lebih banyak lagi, tapi aku menahan diri.

Gadis yang terkenal di kampus dan gadis yang mencari sugar daddy di Twitter adalah orang yang sama. 

Itu adalah cerita yang tidak ada hubungannya denganku.

Tapi kenapa aku hampir saja mengungkapkannya?

"M-Maaf...! Aku tidak bermaksud mengatakan apa-apa—uhh!?"

Dia meraih kerahku dan menarikku kearahnya. Jarak antara wajahnya dan wajahku berkurang menjadi hanya beberapa sentimeter, dan aroma manis yang samar memasuki lubang hidungku. 

Meskipun kejadian tiba-tiba ini membuatku sedikit panik, aku masih memahami bahwa ini adalah situasi yang kritis.

Dalam ketegangan aneh yang ditimbulkan oleh Kotosaka, aku menutup mataku sekuat mungkin, mencoba untuk melupakan kenyataan.


"Dari mana kamu tahu nama itu?"

"Eh... oh, bukan...,"

Perlahan membuka pandangan, mataku kembali bertemu dengan matanya.

Meski aku sudah bersiap menghadapi rentetan omelan, tapi yang mengejutkanku, adalah suara Kotosaka tidak banyak berubah dari sebelumnya.

Namun, aku sudah benar-benar diliputi oleh campuran perasaan bingung dan juga panik, hingga aku tak mampu mengucapkan sepatah kata pun. 

Mungkin menyadari hal ini, dia mengubah pertanyaannya.


"Jam berapa pekerjaanmu selesai?"

"P-pukul 10..."

Sambil sedikit gemetar, aku menjawab terbata-bata dengan volume yang hanya bisa didengar oleh Kotosaka.

"...Saat pekerjaanmu selesai, datanglah ke tempat parkir,"

Dia melepaskan tangannya dari kerah seragamku. Meskipun dia terkejut aku tahu tentang aktivitas sugar daddy-nya, dia tetap bersikap tenang. 

Setelah sekali lagi memeriksa wajahky, dia mengatakan, "Sampai jumpa," dengan senyum tipis yang tampak terlalu berlebihan, lalu segera meninggalkan minimarket itu.

Setelah ketegangan menghilang, aku terjatuh dengan berat di tempat duduk.


"Shin-chan, apa kau baik-baik saja!? Apa ada masalah dengan pelanggan tadi...!?"

Chitose tampaknya telah melihat sebagian percakapan kami dan bergegas mendekatiku ketika Kotosaka pergi. 

Namun, saat ini, aku bahkan tidak bisa memberikan jawaban, bahkan sulit rasanya untuk berdiri dengan benar.

Aku hanya membungkuk di tempatku dan menutupi seluruh wajahku dengan kedua telapak tangan.

Sepertinya hari ini adalah hari yang sangat buruk bagiku.


--- ☆ ---


Setelah Kotosaka pergi dari minimarket, suasana yang sebelumnya ramai seolah-olah menjadi ilusi, dengan seketika, pelanggan berkurang drastis.

Bersandar di rak rokok, aku mengatur pernapasanku, mencoba menenangkan hatiku. Setelah beberapa saat, akhirnya, emosiku mereda, dan dalam beberapa menit, aku kembali ke keadaan normal.

Chitose menyarankan agar aku beristirahat di kantor, tapi aku terus bersikeras bahwa aku baik-baik saja dan kembali ke ruang belakang untuk melanjutkan pemeriksaan barang.

Setelah itu, tidak ada masalah yang muncul, dan waktu terus berlalu perlahan. 

Saat selesai dengan tugas-tugasku, tinggal kurang dari satu jam lagi sebelum waktu kerja berakhir. Meskipun masih ada cukup banyak waktu yang tersisa, aku terus-menerus memeriksa parkirannya dari balik meja kasir.


Setelah pekerjaan berakhir, Kotosaka akan datang ke parkiran, sesuai dengan janji yang telah dibuatnya dengan paksa. 

Tujuannya mungkin untuk menjaga agar aku tetap diam tentang aktivitas sugar daddy-nya. 

Mengingatnya kembali, aku semakin merasa tidak ingin terlibat dalam masalah ini.


Sisa satu jam ini terasa seperti hidupku penuh dalam tekanan yang konstan. Stres yang besar mempengaruhi pikiranky dan perutku mulai merasakan rasa sakit. 

Ketegangan semakin meningkat seiring berjalannya waktu, dan ketika jam menunjukkan pukul dua puluh dua, aku merasa fisik dan mentalku benar-benar lelah.

Ketika aku kembali ke kantor, aku melihat ke parkiran, tapi Kotosaka belum muncul. 

Bahkan setelah aku bergantian dengan rekan kerja yang bekerja malam, aku tetap memantau keadaan parkiran melalui monitor keamanan sambil bersiap untuk pulang.


"...Dia benar-benar tidak datang pada waktu yang sudah dijanjikan, ya?"

"Hm? Shin-chan, apa yang kau katakan tadi?"

"Ah, haha.. tidak ada apa-apa..."

"Kau terlihat sangat gelisah sepanjang hari ini, dimulai dari saat menghadapi antrean tadi."

"Well..."

"Ada sesuatu yang terjadi dengan pelanggan terakhir tadi, bukan? Dia kelihatannya seperti siswi SMA, bukan?"

Chitose benar-benar khawatir dan menatap wajahku dengan tulus, tetapi aku hanya bisa tersenyum untuk menghiburnya, "Aku benar-benar baik-baik saja, jadi jangan khawatirkan aku."

Setelah keluar, aku berpura-pura kembali ke apartemen untuk menipu mata Chitose. Lalu aku memutuskan untuk menunggu Kotosaka di parkiran minimarket.

Walaupun aku bisa saja langsung pulang, tapi aku ingin menghindari situasi di mana aku mungkin bertemu dengannya secara kebetulan dilain tempat.

Dan karena alamat tempatku bekerja sudah diketahui, lari dari masalah ini tidak akan berguna. 

Selain itu, setelah semua stres yang aku alami hari ini, aku ingin menyelesaikan masalah ini secepat mungkin daripada menundanya ke lain hari.

Sambil menunggu kedatangan Kotosaka di parkiran, aku merasakan dua perasaan yang bertentangan: 'segeralah datang' dan juga 'kumohon jangan pernah datang'.

Meskipun kita berada di dalam Tokyo, daerah ini tidak begitu ramau ataupun memiliki kilauan khusus, meskipun ada lampu jalan dan cahaya bangunan yang cukup. 

Aku merasa atmosfer di sekitar sini agak mirip dengan daerah asalku. Dengan itu dan aku duduk di blok parkir, merenung dan menatap sekeliling. 

Mungkin karena perasaan bahwa suasana sekitar mirip dengan daerah asalku, perasaanku secara aneh menjadi lebih tenang.

Tiba-tiba, pandanganku menjadi terang putih. Itu bukan cahaya dari minimarket, lampu jalan, atau bangunan. 

Itu adalah cahaya LED dari sepeda, yang sengaja ditujukan ke arah wajahku.

Aku menyipitkan mata dan menatap lurus pada sumber cahaya itu.


"Halo."

Di sana, di atas sadel sepeda, ada seorang gadis yang akhirnya muncul, lebih dari sepuluh menit terlambat dari waktu pertemuan yang sudah disepakati. 

Dia tidak terlihat bersalah atau tertawa, dia tetap tanpa ekspresi, mengangkat tangan kanannya dengan sapaan yang tegas.

"...H-halo."

Meskipun aku merasa frustrasi dengan sikapnya, aku juga mengangkat tangan sebagai bentuk sapaan.

Mengendarai sepeda klasik dengan keranjang didepannya, dia terlihat mengenakan pakaian dengan nuansa gelap yang aku lihat di kampus sebelumnya.

Kombinasi antara gaya pakaian dan sepeda ini terlihat sangat tidak cocok, dan terlihat sangat mencolok di tempat ini.


"Apa yang terjadi seragam sekolahmu?"

Meskipun aku merasa sedikit cemas tentang bagaimana caraku berbicara dengan orang ini saat dia ada di depanku, tapi setelah mempersiapkan diri, aku dapat dengan mudah mengeluarkan kata-kata.

"Aku pulang dulu dan menggantinya."

"Apa kamu mengganti pakaian hanya untuk bertemu denganky?"

"Tentu tidak. Hanya saja, berbahaya pulang terlalu malam dengan tetap mengenakan seragam."

"Berbahaya... Maksudmu, kamu khawatir akan penjahat di jalanan?"

"Aku tidak ingin dihentikan oleh polisi. Itu merepotkan."

Kotosaka turun dari sepedanya dan berjalan ke arahku sambil memegang sepedanya.

"Oh ya, siapa namamu?"

Benar juga, aku baru menyadari bahwa aku belum memperkenalkan diri...

Berbohong tidak akan ada gunanya, jadi sebaiknya kamu jujur saja, karena aku sudah mencatat namamu."

"Menakutkan sekali, kapan kamu mencatatnya...?"

"Margamu tertera di name tag minimarket. Selain itu, aku sudah tahu namamu sejak awal."

"Namaku...?"

Dengan tambahan kata-kata itu, aku mengernyitkan dahi. 

Aku sama sekali tidak ingat pernah memberi tahu Kotosaka soal namaku, bahkan kami belum pernah berhubungan sebelumnya. 

Aku merasa curiga tentang bagaimana dia bisa tahu namaku.


"Kamu mengambil kuliah etika setiap hari Selasa, bukan?"

"Y-yah, itu benar, tapi..."

Tidak mungkin dia tahu karena dia juga mengambil kuliah yang sama, bukan? Meskipun kuliah etika adalah mata kuliah untuk semua jurusan dan memiliki banyak mahasiswa, cukup mengejutkan baginya untuk mengingat mahasiswa yang begitu biasa sepertiku...

"Aku tahu namamu karena mendengar obrolan dari seseorang bernama Hirofumi."

...Ah, bajingan itu.

Aku meletakkan tangan di atas mata dan memikirkan kembali percakapan sebelumnya di kelas. 

Karena Kotosaka duduk di dekat kami hari ini, kami berbicara dengan lebih tenang daripada biasanya, tetapi suara Hirofumi tetap terdengar dengan sangat jelas. 

Aku sama sekali tidak membayangkan bahwa dia akan mengingat namaku seperti ini.


"Jika kamu sudah tahu, kenapa aku harus memperkenalkan diri lagi?"

"Lebih baik untuk bermain aman."

Dia sangat hati-hati di tempat-tempat yang tidak semestinya.

"...Namaku Shinsuke Aigaki. Apa itu sudah cukup?"

"Departemen dan tahun ajaran, serta usiamu."

"Kenapa kamu ingin tahu semua itu..."

"Cepat."

Kotosaka tetap serius sambil mendesak untuk mendapatkan jawaban.

Sebenarnya, aku tidak perlu memberi tahu dia semua ini, tetapi melihat sikap Kotosaka yang sangat tegas, aku merasa lebih baik memberikan informasi yang dia minta.

"Aku mahasiswa tahun kedua di Departemen Sastra, berusia sembilan belas tahun."

"Oke, aku juga sudah tahu itu semua."

"Bagaimana kamu tahu semuanya!?"

"Karena alasan yang sama seperti sebelumnya."

Karena suara keras Hirofumi, sepertinya sebagian informasi pribadiku telah bocor tanpa sepengetahuanku. Sepertinya, aku perlu memberi bajingan itu peringatan segera.

"Baiklah, pertanyaan berikutnya."

"Masih ada lagi...? Jadi, tujuannya adalah membuatku mengungkapkan informasi yang sebenarnya sudah kamu ketahui dari mulutku untuk memeriksanya dengan lebih baik, bukan?"

"TIDAK."

Kotosaka dengan nada sedikit menjengkelkan, dengan tegas menyangkal pernyataanku.

"Mulai dari sini, aku tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu, jadi tolong beri tahu aku dengan sejujur-jujurnya."

Nampaknya percakapan akan masuk ke topik yang lebih serius kali ini.

"Jadi, apa yang harus aku beri tahu padamu?"

Kotosaka menunduk sebentar sebelum kembali menatap kearahku.

Aku menelan ludah dan menunggu momen ketika dia mulai berbicara.


"Beritahu aku tentang minat, latar belakang, alamat serta apakah kamu tinggal sendiri atau bersama dengan orang lain."

"Heh, apa...?!"



0

Post a Comment