Translator:
Editor:
Chapter 3 - Cinta
Tidak ada AC di asrama murah dengan sewa sepuluh ribu yen ini.
Meskipun ingin memasang peralatan pendingin, setiap lantai memiliki batasan daya listrik yang rendah, sehingga sekali bertambah beban sedikit saja, pemutus daya pasti akan langsung mati.
Di setiap lantai terdapat beberapa kamar sepuluh tatami yang berjejer, dan jika dua atau lebih orang memasak nasi secara bersamaan, pemutus daya akan mati seketika. Di asrama ini, pertukaran informasi tentang 'kapan akan memasak nasi' sering dilakukan antara para penghuni.
Tentu saja, tidak ada kamar mandi atau toilet di dalam kamar. Hanya ada toilet umum dan fasilitas mandi besar dengan shower. Fasilitas mandi besar hanya dapat digunakan pada waktu tertentu di malam hari, sementara shower dapat digunakan kapan saja. Setiap kamar dilengkapi dengan tempat tidur tunggal, meja belajar, dan lemari es.
Di dalam kamar kami, Narumi telah memilih warna seprai tempat tidurku menggantikan ketidakpedulianku terhadap interior. Karpet cokelat tua, seprai berwarna arang, tirai abu-abu, semuanya terpadu dengan indah. Tanaman hias dan lampu sorot ditempatkan di dalamnya, meskipun bangunan ini mungkin terlihat seperti bangunan yang terbengkalai, tetapi di dalam kamar terasa seperti ruang yang sangat modis.
Pukul tujuh pagi.
Saat Narumi menyalakan saklar ricecooker, aku bangun dan bergegas hendak pergi ke shower dengan handuk di tangan. Meskipun jendela sudah terbuka lebar, tapi tadi malam tidak ada angin yang masuk dan rasanya sungguh panas. Mungkin ada yang mematikan pemutus daya semalam, bahkan kipas angin pun mati.
"Ada apa?"
Kata-kata tajamya membuatku tersentak.
"Ah, tidak."
"Maaf. Aku paham, bahkan Sorano juga seorang pria, bukan?"
"Apa kau mencoba mengolok-olokku?"
"Aku benar-benar iri melihat betapa naifnya penampilanmu hanya dengan mandi sebelum bertemu seorang gadis.''
"Kau benar-benar mengolok-olokku, kan?"
"Aku tidak melakukannya." Narumi melambaikan tangan lalu melanjutkan,
"Jadi, apa kau menaruh rasa suka padanya? Apa kau tertarik pada Fuyutsuki?"
"Aku tidak mengatakan kalau aku menyukainya..."
"Oh, ayolah jangan begitu, kau terlihat lucu."
"Kau benar-benar mengolok-olokku!"
Narumi tertawa terbahak-bahak.
"Fuyutsuki, ingin aku menemaninya. Hanya itu saja..."
Setelah memberi pernyataan dan melakukan konfirmasi sekilas, aku bertanya, "Apa kau juga mau ikut?"
Narumi mengernyitkan kening dan menatapku.
"Bodoh, kau pengecut!"
"Diamlah, sialan!"
"Bodoh, pengecut, penakut."
"Kau menjengkelkan sekali!"
"Aku punya pekerjaan paruh waktu hari ini."
"Mulai malam, bukan?"
"Lagipula Sorano, kau memang benar-benar tertarik pada Fuyutsuki, kan? Begitulah yang aku pikirkan."
"Hah? Kami hanya sering mengobrol biasa, aku bahkan belum pernah berpikir tentang itu."
"Benarkah?"
"Aku juga masih belum tahu bagaimana seharusnya bersikap di depannya, atau bahkan tidak yakin apakah aku bisa sepertimu dalam memperlakukannya."
"Apa yang kau maksud dengan 'bersikap di depannya'?"
Narumi merespon dengan suara yang agak kesal, yang jarang terdengar dariny.
"Maaf, kata-kataku salah. Maksudku, aku bingung bagaimana harus berinteraksi dengannya secara normal."
"Bukankah kau sudah bisa berbicara dengannya secara normal selama ini?"
"Frasa 'normal' itu sendirilah yang belum aku mengerti sepenuhnya."
Apakah seharusnya aku berbicara tanpa menyentuh topik tentang penglihatannya, atau sebaiknya aku memilih jalur yang membuatnya merasa nyaman, atau apakah seharusnya aku menawarkan bantuan dengan tanganku, atau bahkan sebaiknya aku tanyakan semuanya dan minta konfirmasinya?
Aku bertanya-tanya pada Narumi semua hal yang telah mengganggu pikiranku, dan dia hanya menjawab dengan satu kalimat tegas,
"Coba saja tanyakan padanya."
"Tapi itu hanya akan membuat suasana jadi aneh, kan?"
Narumi menggaruk kepala dan menjawab, "Aku punya pengalaman dalam hal ini. Asal kau tahu, semuanya justru akan menjadi lebih sulit saat seseorang menjaga jarak aman seperti itu."
◎◎◆◎◎
Aku pergi ke toko serba ada segera setelah meninggalkan asrama dan membeli ayam goreng. Aku sudah ingin makan ayam sejak Narumi menyebutkannya.
Sambil makan ayam, aku berjalan menuju Tsukishima. Langit biru dan awan bergerak perlahan. Saat aku melintasi Jembatan Aioi, aku melihat permukaan air yang luas. Itu adalah tempat di mana Sungai Sumida berubah menjadi laut. Sesekali, nampak ikan-ikan yang melompat-lompat dari sana. Permukaan air bergetar dan berkilauan seperti perak.
Di tempat asalku, Shimonoseki, laut yang mengalir deras di Selat Kanmon memiliki suasana yang segar dan seakan bisa menghapus segala sesuatu, entah itu yang baik maupun yang buruk.
Namun, ketika aku berada di Tokyo, aku merasa lautnya tenang dan seolah-olah mempertahankan segala sesuatu.
Aku merenung dalam hati, "Ah, inilah alasan mengapa orang-orang memilih untuk datang ke Tokyo." dalam pemikiran yang tidak berdasar.
Waktu pertemuan adalah pukul sembilan pagi. Aku berusaha tiba lima menit lebih awal.
Ketika aku mengatakan bahwa aku akan menjemput Fuyutsuki di depan apartemennya, dia merespon, "Jadi, ini akan terlihat seperti kencan, bukan?". Lalu saat aku menjelaskan bahwa kita hanya akan pergi berbelanja bersama, dia kembali berkata, "Itu juga bisa disebut kencan." sambil tertawa.
Pada akhirnya, Fuyutsuki menolak dan mengatakan bahwa kita akan bertemu di bawah Jembatan Aioi saja.
Saat aku menyeberangi Jembatan Aioi, aku melihat laut berkilauan dengan cahaya perak. Sinar matahari yang cerah memantul sangat kuat sehingga mataku terasa pedih.
Saat mengangkat pandangan, aku bisa melihatnya, Fuyutsuki sudah tiba lebih awal di bawah jembatan.
Di bawah jembatan, ada pohon-pohon yang menciptakan bayangan yang lembut. Sinar matahari yang cerah menerobos melalui celah-celah daun dan menerangi Fuyutsuki.
Dia mengenakan blus putih dengan rok yang transparan, dan membawa tas kulit di bahunya.
Fuyutsuki, yang berdiri dalam diam, tampak begitu transparan, cocok dengan pemandangan yang sedikit kabur disekelilingnya.
Pemandangan ini membuatku kembali menyadari betapa cantik dirinya itu.
"Fuyutsuki, ini Sorano. Maaf atas keterlambatannya. Apa kamu sudah lama menunggu?"
Ini adalah kalimat umum dalam skenario kencan, dengan peran gender yang terbalik tentunya.
"Aku sudah menunggu dua jam."
"Eh, bukankah itu salahmu, Fuyutsuki?"
"Bukan, ini sepenuhnya salahmu Kakeru-kun."
Dia tersenyum lalu berkata, "Aku hanya bercanda." dan mengajakku segera pergi.
"Baiklah, stasiun Tsukishima kearah sini."
"Di mana?"
"Maaf, maksudku kearah kanan."
Biasanya, dengan menunjuk 'kesana atau kesini', aku bisa menjelaskan pada seseorang. Namun, Fuyutsuki tidak bisa memahami petunjuk seperti itu.
Misalnya, bahkan jika aku memandanginya dengan seksama saat kami berjalan, Fuyutsuki tidak akan menyadarinya.
---Apa kau tertarik pada Fuyutsuki?---
Tiba-tiba, kata-kata Narumi muncul dalam benakku.
Berpacaran dengan seseorang yang tidak bisa melihat...
Secara intuitif, aku merasa bahwa itu terlihat sulit.
Itulah sebabnya aku tidak pernah melihat Fuyutsuki sebagai objek cinta.
Aku tahu betul betapa kasarnya itu.
Tapi, kurasa perasaan yang kutunjukkan padanya sungguh tidak berharga.
Aku merasa sakit hati setelah membuat alasan seperti itu.
"Apakah kamu tahu tempatnya?"
"Ah, iya."
"Aku benar-benar menantikannya!" kata Fuyutsuki sambil tiba-tiba melompat sambil berjalan.
––Ya, dia melompat.––
"Eh?"
"Hmm, ada apa?"
Fuyutsuki berbalik ke arah suaraku berasal.
"Apakah kamu bisa melompat?"
"Kakeru-kun, bahkan kamu bisa melompat sambil menutup mata, bukan?"
Aku tidak bisa menahan tawa melihat kegembiraan Fuyutsuki yang mengejutkan.
"Haha, kamu benar."
"Kenapa kamu tertawa?"
"Maaf, maaf." Setelah itu, kami pun melanjutkan perjalanan.
"Mari kita menyalakan kembang api bersama."
Permintaannya terdengar sangat khusus untuk menebus kesalahanku sebelumnya.
Kami naik kereta bawah tanah jalur Oedo menuju toko khusus kembang api di Asakusabashi.
Kami naik kereta ke Daimon, lalu bertukar ke jalur Asakusa di sana. Aku memilih rute yang paling nyaman bagi Fuyutsuki, bahkan jika itu bukan rute tercepat.
Di dalam kereta, aku belajar bahwa tidak semua orang dengan tongkat putih akan mendapatkan kursi yang ditawarkan oleh orang lain.
Saat aku merenung tentang hal ini, seorang nenek bangun dan berkata, "Silakan duduk."
Fuyutsuki tersenyum dan berkata, "Tidak apa, saya selalu berdiri."
Kami berdiri berdampingan di sudut dekat pintu kereta.
"Terima kasih atas bantuanmu untuk menemaniku..."
"Tidak perlu khawatir tentang itu."
Fuyutsuki berpaling dan memandang kearahku dalam diam.
"Apa yang salah?"
"Aku merasa Kakeru benar-benar seorang pria yang sopan."
"Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
"Kamu membantuku menuju tempat yang tidak terlalu ramai, kan?"
"Tidak, bukan begitu!" Aku ingin menyangkalnua, walaupun dalam beberapa hal mungkin memang benar.
Saat aku tiba-tiba bersuara, Fuyutsuki tertawa pelan, dan aku melewatkan kesempatan untuk membantah.
Ketika berhadapan dengan Fuyutsuki, aku merasa malu.
Mungkin karena dia sangat cantik, atau mungkin karena dia memiliki kepribadian yang berbeda dariku yang membuat aku sangat mengaguminya. Diatas semua itu, entah kenapa ketika melihat Fuyutsuki, detak jantungku berdegup lebih cepat.
Kereta bawah tanah berdentang-dentang saat bergerak. Cahaya lampu-lampu kereta bawah tanah yang berjajar rapi dengan interval tetap melintas di luar jendela, menyinari wajah Fuyutsuki secara sekilas tapi terus-menerus.
Aku berbicara cukup keras agar terdengar di atas suara kereta.
"Aku sudah lama penasaran, tapi kenapa kamu ingin melihat kembang api?"
"Aku selalu menyukainya, bahkan sejak dulu."
"Tapi sekarang kamu tidak bisa melihatnya, bukan? Itulah yang membuatku penasaran"
"Kembang api itu tidak hanya tentang kesenangan dalam visualisasi nya saja, tahu?"
"Tentu, tapi..."
"Saat kembang api meledak dengan keras, saat bau mesiu yang khas bertebaran diudara, dan saat teriakan 'wah' semua orang bergema di segala arah... Itulah kesan-kesan yang membuatku menyukainya. Kakeru-kun, suatu saat nanti cobalah menikmati kembang api dengan menutup mata. Aku yakin kamu akan merasakannya dengan seluruh tubuhmu."
"Aku akan menahan diri dari cara yang begitu rumit untuk menikmatinya. Bagiku, menikmati kembang api bunga lilin dengan duduk bersila itu sudah cukup."
"Oh, kembang api bunga lilin juga bagus. Haruskah kita membelinya nanti?"
"Aku suka itu~"
Saat aku terkesan, Fuyutsuki menyipitkan mata dan berbicara dengan lembut.
"Dulu, aku sering pergi melihat kembang api bersama keluarga."
"Kembang api yang ditembakkan ke atas langit?"
"Iya, waktu itu mataku masih bisa melihat. Aku pergi bersama dengan ayah dan ibu."
"Jadi, kamu selalu ingin melihat kembang api karena punya kenangan itu?"
Saat aku mulai sedikit mengerti, Fuyutsuki berkata, "Maaf, bukan itu maksudku." lalu melanjutkan, "Aku mulai sangat ingin melihat kembang api setelah kehilangan penglihatanku."
"Eh, apa maksudnya?"
"Yah, mungkin semacam... semangat untuk berusaha keras, kurasa."
"Apa yang kamu maksud?"
"Entahlah, aku merasa seperti itu, aku ingin mencoba untuk berusaha lebih keras lagi."
"Aku tidak begitu mengerti..."
Saat aku mengutarakan ketidakpengertian, kereta berhenti di stasiun Shiodome, dan orang-orang mulai berdesakan untuk keluar-masuk. Ruang dalam kereta mulai sempit, dan aku merasa tubuhku terdorong.
Jarak antara ku dan Fuyutsuki menjadi lebih dekat.
"Mungkinkah kereta sudah penuh?"
Aku bertanya, "Kenapa?" Aku heran bagaimana dia bisa tahu meskipun seharusnya dia tidak bisa melihat.
"Tidak, hanya saja suaramu terdengar lebih dekat."
Fuyutsuki sekarang berada sangat dekat dengan wajahku, matanya terbuka lebar. Aku mencoba menjawab dengan santai, "Tidak, tidak masalah."
"Terima kasih telah melindungiku." ucapnya dengan jarak yang begitu dekat hingga aku merasa hampir tak bisa bernapas.
Aku mencoba menahan napas sebisa mungkin agar napasku tidak mengganggu Fuyutsuki sampai kereta tiba.
.
Rutenya seharusnya hanya memakan waktu sekitar tiga puluh menit, tetapi karena Fuyutsuki tidak bisa berjalan terlalu cepat, kami sampai di Asakusabashi dalam waktu sekitar satu jam.
"Apa kamu merasa lelah?"
"Aku baik-baik saja."
"...aku merasa lelah,"
"Ada yang salah?"
"Tidak, mari teruskan saja."
Fuyutsuki berjalan di atas trotoar, memukul-mukul tanah dengan tongkat putihnya, dan mengikuti jalur titik-titik braille berwarna kuning. Aku mencoba membayangkan, apakah aku bisa berjalan dengan mata tertutup seperti itu. Jawabannya jelaslah tidak.
Aku sampai pada kesimpulan itu dalam sekejap.
"Kita harus belok ke kiri di sini."
Dengan mencari rute sebelumnya, aku memegang ponsel sambil memandu Fuyutsuki.
Seorang pria berjalan ke arah kami dari depan, sambil fokus menatap layar ponselnya. Aku memiliki firasat buruk.
Saat aku berpikir bahwa ini akan menjadi masalah, hal itu benarkah terkadi. Pria itu tiba-tiba menabrak Fuyutsuki.
Pria itu hanya melempar sekilas pandangan ke arah Fuyutsuki sebelum akhirnya pergi tanpa sepatah kata pun.
"Apa-apaan itu!?"
Aku merasa marah saat kejadian itu terjadi. Bagaimana bisa dia hanya melempar pandangan singkat setelah menabrak Fuyutsuki? Apakah dia tidak tahu bahwa dia tidak bisa melihat?
Saat aku hampir berteriak, Fuyutsuki meraih lenganku dan menggelengkan kepala sambil berkata, "Tidak apa-apa."
"Tapi..."
---Itu hal yang biasa terjadi.
Fuyutsuki melanjutkan. Sedangkan aku masih merasa kesal, "Tapi, tetap saja..."
"Kamu pasti membawa ponsel, bukan? Aku yakin kamu sedang menerima pesan penting dari seseorang sekarang."
Dia kemudian melanjutkan dengan tertawa. "Suaramu terdengar cukup tajam. Tidak perlu begitu marah."
Bagaimana bisa Fuyutsuki begitu kuat?
Aku masih merasa marah, tetapi ketika aku mencoba berbicara, aku berkata, "Aku mengerti." dan itu adalah akhir dari pembicaraan kami
Aku mulai merasa kemarahanku mereda. Tapi pada saat yang sama, aku merasa sesak di dada karena hampir saja berteriak "Dia tidak bisa melihat!".
Aku menyadari betapa buruk tindakanku yang sembrono dan semakin tidak sensitif hanya karena darah yang mengalir deras ke kepalaku
Aku mengusulkan untuk beristirahat sejenak dengan mengatakan, "Mau pergi ke kafe?" pada Fuyutsuki yang terlihat agak lelah.
Kami memasuki jaringan kafe asal Prefektur Aichi yang terletak di dekat sana, dan seorang pelayan dengan senyum lebar menyambut ke meja kami.
Setelah kami duduk, seorang pelayan lainnya dengan senyum lebar mengambil pesanan kami.
Saat mata kami bertemu, aku membeku.
"Hayase?"
Pelayan itu adalah Yuko Hayase yang mengenakan apron dengan kerudung melilit di kepalanya.
"Apa yang kamu lakukan di sini hari ini?"
Hayase terkejut dan mengedipkan mata beberapa kali.
"Eh, Koharu-chan!"
"Oh, ini Yuko-chan. Selamat pagi." Fuyutsuki tersenyum hangant mendengar suara yang cukup tinggi itu.
"Sorano-kun dan Koharu-chan..."
Hayase bertanya-tanya dengan sikap penuh keingintahuan.
"Aku akan memesan Americano, dan juga paket C."
"Kamu tidak perlu terburu-buru seperti itu, tahu."
"Kamu sedang bekerja, bukan?"
Saat aku berkata seperti itu, Fuyutsuki tertawa dengan senang.
"Iya, iya." sahut Yuko, sambil menulis pesanan kami.
"Apa yang kalian lakukan hari ini?"
"Dia ingin melihat kembang api."
"Oh, kembang api?"
"Ya, begitulah."
"Apakah Yuko-chan juga ingin ikut dalam pertunjukan kembang api kita?"
"Oh, aku juga ingin melakukannya! Kapan itu dimulai?"
"Kapan kita melakukannya?" entah kenapa, tiba-tiba aku melemparkan pertanyaan kepada Fuyutsuki.
"Eh. Apa kamu bertanya padaku?" Fuyutsuki tersenyum lembut sambil menepuk pipinya dengan tangannya yang kecil. Senyumnya membuat hatiku berdebar.
"Hari ini kita pergi membeli kembang api yang paling besar!" kata Fuyutsuki dengan penuh semangat.
Aku memutuskan untuk menggoda Fuyutsuki sedikit. "Kamu punya anggaran sejuta yen, bukan."
"Fufu, tolong jangan meremehkan kekayaan keluarga Fuyutsuki." Fuyutsuki dengan serius.
"Eh?" "Apa itu benar?"
Saat suara kagetku dan Hayase tumpang tindih, Fuyutsuki tertawa, "Ahaha."
Dalam percakapan yang biasa itu, Hayase terkejut dengan mata terbelalaknya.
"Tapi, sejak kapan kalian menjadi begitu akrab?"
"Terlihat akrab? Aku kira Kakeru-kun selalu tampak serius?"
"Tidak, sekarang dia tersenyum-senyum sendiri..." Hayase menjawab dengan mengubah fakta.
"Oh, benarkah! Bolehkah aku menyentuh wajahnya?"
"Tidak bisa! Lebih baik pesan makanan dulu, ayo lihat menunya!"
Aku tidak benar-benar mengerti maksudnya yang mencoba untuk menyentuh wajahku. Tetapi, apa yang lebih penting adalah untuk tidak membiarkan Hayase terus berada disini.
"Maaf, tapi aku tidak bisa melihat menu..."
Sambil aku memeriksa menu menggantikannya, Hayase menyarankan satu menu, MilkTea Ice. Ini adalah MilkTea yang 'penuh semangat', dengan ukuran yang mungkin dua kali lipat dari yang biasanya, mungkin semacam semangat layanan khas Aichi.
"Kamu bisa minum ukuran yang besar seperti ini?"
Aku menunjuk gambar di menu dengan jari, tapi dia hanya menatapku dengan bingung.
"Ah, maafkan aku..." bahkan permintaan maaf itu disambut dengan tatapan bingung.
Hal seperti ini membuatku bingung, Mengambil tindakan yang salah bisa membuat segalanya menjadi lebih buruk. Aku tidak suka itu.
"Untuk Teh Susu Panas, ukurannya biasa saja."
Perkataan Hayase disambut dengan penuh senyuman dari Fuyutsuki yang berkata, "Baiklah, aku pesan itu saja."
Setelah itu, Hayase membawa pesanan kami.
Mungkin ini adalah bagian dari pelayanan khusus dari Hayase, karena ada telur rebus gratis di meja.
Ada juga kopi, teh susu, roti tebal, mentega untuk roti, dan kacang merah. Ketika Fuyutsuki mengucapkan terima kasih, Hayase pergi dengan mengangguk.
Fuyutsuki meraih gelasnya dengan perlahan.
"Itu ada di depanmu, teh susunya." kataku sambil mengoles mentega di roti.
"Tidak apa."
Fuyutsuki dengan hati-hati mengambil piring cangkir. Dia meletakkan jari di pegangan cangkir, mengangkatnya dengan kedua tangan.
Setelah sedikit mencicipinya, dia menggelengkan kepala sambil menjulurkan lidah, "Ini panas."
"Hati-hati ya."
"Tapi, rasanya enak."
Aku tersenyum saat melihat Fuyutsuki, dan aku merasa bahwa ada sesuatu yang istimewa atau tidak biasa tentangnya.
Apa ini? meskipun tidak pernah ada "pertemuan mata" dengan Fuyutsuki, kadang-kadang aku merasa seolah-olah mata kami saling bertemu.
Dan setiap kali itu terjadi, aku merasa merasa gugup, dadaku terasa sesak.
Sewaktu aku berkonsentrasi untuk menyebarkan kacang merah di atas roti panggang yang diolesi mentega, dan sebelum menyadarinya, aku sudah memiliki setumpuk kacang merah diatas roti ku.
"Apa kamu tidak makan?"
"Oh, tidak apa-apa. Jangan khawatir."
"Mau mencicipinya?"
"Ahh, kamu akan memberikannya padaku?"
"Tidak akan."
"Uhh, kamu pelit."
"Jadi, bagaimana dengan makan siang hari ini?"
"Sebenarnya, aku tidak suka makan di depan orang-orang."
"Aku dengar banyak wanita yang merasa seperti itu."
"Ah, bukan itu yang aku maksud..." kata Fuyutsuki, tetapi kemudian dia melanjutkan.
"Tapi, menganggapku sebagai wanita seperti itu membuatku senang,"
Fuyutsuki kembali sambil tersenyum.
Ketika melihat senyum Fuyutsuki, aku merasa malu hingga mencoba mengalihkan perhatian dengan mengigit roti dengan cepat.
Fuyutsuki tersenyum sepanjang waktu. Ini adalah salah satu ciri khas dari Fuyutsuki. Senyumnya itu, sungguh curang.
Aku berkata dengan tekad, "Jika kamu tidak mau membicarakan tentang hal ini, maka tidak masalah."
Saat kami meninggalkan kedai kopi, kami mengunjungi beberapa toko khusus kembang api bersama.
Toko itu memiliki berbagai jenis kembang api genggam dan kembang api luncur yang besar, seperti yang bisa diharapkan dari toko khusus.
Setelah melihat beberapa kembang api dan mendengar penjelasannya, kami membeli apa yang diinginkan Fuyutsuki. Kami memiliki cukup banyak barang, hingga tas plastik terasa berat.
"Apakah aku benar-benar boleh membawanya pulang?"
"Tentu saja. Mungkin bisa kita nyalakan di universitas, dan itu lebih dekat dengan asramaku juga."
"Terima kasih banyak."
Kami berbicara di bawah pohon di Asakusabashi setelah berbicara di depan toko kembang api.
"Hei, kapan kira-kira kita akan menyalakannya?" Fuyutsuki bertanya, tampak sangat senang.
"Aku tidak yakin, apakah kita perlu izin untuk menyalakannya di universitas."
"Haruskah kita bertanya kepada Yuko-chan?"
Fuyutsuki berbicara dengan suara antusias di sampingku. Aku ingin memberikan saran agar dia tenang, tetapi aku tidak bisa mengucapkannya saat melihatnya yang berbinar-binar saat memandang langit.
"Jadi, setelah membeli kembang api, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?"
"Eh, apakah kamu masih ingin melanjutkan kencan kita?"
"Sudah kubilang, ini bukan kencan..."
"Aku hanya bercanda. Tapi, kembang api ini berat bukan? Ini akan menjadi beban yang cukup melelahkan, jadi bagaimana kalau kita pulang saja hari ini?"
Sementara itu, aku memang merasa sedikit kesulitan dengan satu tangan memegang kembang api yang kami beli. Mungkin dia menyadari hal itu.
"Benar juga, membawa kembang api sebanyak ini bisa membuat polisi menghentikan kita karena membawa barang berbahaya."
"Apakah kita akan menjadi satu komplotan dalam kejahatan?"
"Dalam hal ini, Fuyutsuki adalah pelaku utamanya, bukan?"
"Kamu selalu saja membuat lelucon seperti itu."
Fuyutsuki tertawa dengan suara yang merdu. Aku merasa senang bisa membuatya tertawa.
"Bagaimana kalau kita pulang dengan water bus?"
"Water Bus?"
Di kota kelahiranku, juga ada ferry yang menghubungkan ke pelabuhan seberang. Aku agak terkejut mendengar bahwa Tokyo juga memiliki transportasi air semacam itu.
Menurut Fuyutsuki, ada semacam kapal water bus yang beroperasi dari Asakusa melalui Sungai Sumida hingga ke Odaiba di Teluk Tokyo.
Dia pernah naik beberapa kali dan ingin sekali kembali menggunakan water bus dari daerah ini ke Tsukishima.
Apakah dia bisa menaikinya? Aku hampir bertanya pada saat itu juga, tapi aku memutuskan untuk tidak melakukannya.
Meskipun dia tidak bisa melihat, dia pasti bisa menikmati perjalanan di atas kapal, merasakan suara kapal membelah air, merasakan angin, dan menikmati sensasi semacam itu.
"Tunggu sebentar, aku akan mencarinya."
Aku mengeluarkan ponsel dan mencari tempat pemberhentian water bus.
"Oh, Ternyata ada di dekat Kura-mae Bridge dan Ryogoku. Itu akan membawa kita ke pemberhentian yang dekat dengan universitas."
"Terima kasih banyak." ucap Fuyutsuki dengan pipi yang mengendur.
"Ada apa?"
"Kamu sangat baik karena mau mencarinya untukku."
Dia berkata demikian sambil tersenyum, yang membuatku seakan tidak bisa melihat wajahnya lagi karena malu
"Tidak, ini normal bukan?"
"Menyebut ini normal berarti kamu memiliki lisensi kebaikan tingkat dua."
"Lisensi apa itu?"
Fuyutsuki tertawa dengan lembut, dan aku membawanya menuju tempat pemberhentian water bus.
Saat kami berjalan dan bercanda, kami segera tiba di tempat pemberhentian water bus. Kami mendapatkan tiket di loket dan naik ke dalam kapal di dermaga belakang bangunan.
Water bus memiliki pintu masuk di bagian belakang kapal, dengan satu rampa turun untuk masuk ke dalam kapal dan tangga untuk naik.
Di dalam kapal, ada barisan kursi, dan di atas, di dek atap, kami bisa melihat pemandangan Sungai Sumida.
"Ayo naik yang mana?" aku bertanya, dan Fuyutsuki tanpa ragu menjawab, "Mari naik ke dek atap!"
Untuk menaiki tangga di kapal yang sempit, aku harus pergi lebih dulu dan membimbing Fuyutsuki dengan tangannya.
"Tangan Kakeru selalu terasa hangat, bukan?"
"Sudahlah, jangan perhatikan, fokus saja pada tangga kalau tidak nanti kakimu terkilir."
Fuyutsuki yang ceria hanya tertawa.
Dek atap tidak memiliki kursi; itu dikelilingi oleh pagar berbentuk kotak.
Sepertinya penumpang lain telah pergi ke dalam kapal, dan untungnya, kami adalah satu-satunya yang berada di dek atap.
"Lihat, ada pagar setinggi pinggang di depan, kurasa kamu bisa memegangnya."
Mesin kapal berbunyi dengan lembut, dan kami merasa sedikit bergoyang bersamaan dengan gerakan air.
Aku membimbing Fuyutsuki ke posisi di depan kapal, menggenggamkan tangannya pada pagar setinggi pinggang.
"Terima kasih. Aku selalu menantikannya hal ini."
"Ini cukup menyenangkan, ya."
"Benar-benar menyenangkan. Aku bahkan tidak pernah membayangkan bisa melakukan sesuatu seperti ini lagi."
"Mungkin... jika kamu..." Aku hampir mengatakan sesuatu sebelum berhenti.
Jika kamu tak keberatan denganku, aku akan pergi bersamamu kapan saja. Aku ingin mengucapkan kata-kata itu secara tidak sadar, tapi aku menahan diri.
Apakah itu baik jika kami bertemu di luar universitas? Apakah aku pikir bisa terlibat lebih dalam lagi dengan Fuyutsuki?
Aku tidak tahu, aku benar-benar tidak tahu.
Tiba-tiba, saat melihat sekeliling, aku melihat permukaan Sungai Sumida. Bau airnya seperti bau hujan musim panas yang baru saja berhenti, dan ada juga bau bensin dari kapal disana.
Meskipun sedikit berbau, air Sungai Sumida memantulkan langit biru.
Itu begitu sederhana namun sangat indah.
"Apakah kamu ingin melihatnya?"
Aku menyadari bahwa dia telah berada dalam keheningan.
Dia pasti merasa sedih karena tidak bisa melihat air yang begitu indah ini, dan aku bertanya-tanya apakah Fuyutsuki yang tidak bisa melihat bisa melihat keindahan permukaan air ini.
"Kamu tahu, aku tidak bisa melihat pemandangan ini, tapi aku masih menikmatinya. Dulu, ketika aku masih bisa melihat, aku mungkin pernah melihat pemandangan yang sama di tempat ini. Jadi, aku hanya mencoba mengingatnya-ingatnya sekarang."
"Bagaimana pemandangannya saat itu?"
"Hmm, saat itu mendung.. kurasa?"
"Hari ini sangat cerah, langitnya begitu biru. Warna biru itu tercermin di permukaan air, sungguh indah."
Fuyutsuki berbalik ke arahku dengan senyuman.
"Kamu sangat baik hati, mau menjabarkan hal seperti itu kepada seseorang yang tidak bisa melihat."
"Aku baru saja mendapatkan lisensi kebaikan tingkat dua hari ini, tahu?" Fuyutsuki tertawa dengan riang.
Saat itulah, pengumuman keberangkatan dari dalam kapal terdengar.
"Pegang erat-erat."
"Aku akan melakukannya."
Fuyutsuki membentuk genggaman tangannya dan mulai memegangi pagar dengan erat .
Water bus bergerak cukup cepat saat melintasi Sungai Sumida.
Angin kencang menerpa dari depan, dan mesin kapal mengeluarkan suara yang kuat. Kapal melambai-lambai dari sisi ke sisi mengikuti ombak yang dibuat oleh kapal lain.
Kadang-kadang, tetesan air kecil juga terbang dan menyegarkan wajahku.
"Anginnya enak ya."
"Ya, terima kasih telah membawaku. Ini sangat menyenangkan."
Kapal water bus melaju di Sungai Sumida yang luas.
Di kedua sisi sungai terdapat gedung pencakar langit, dan terkadang taman yang hijau terlihat di tepian sungai.
Hari ini sangat cerah. Kami melintasi bawah jembatan, di bawah jalan tol berlapis tinggi.
Aku menjelaskan semua pemandangan yang berlalu di depan mataku pada Fuyutsuki.
Aku menjelaskan setiap detail yang aku lihat dan yang aku rasakan, agar Fuyutsuki dapat memahaminya.
"Wow!"
"Apa yang salah?"
"Ada tulisan 'Eitai Bridge' di sisi jembatan di depan sana. Jadi, itu jembatan Eitai, ya? Tapi, sepertinya lebih rendah dari jembatan lain. Mungkin itu akan menabrak kepala kita, jadi ayo berjongkok!"
Fuyutsuki berjongkok sambil masih memegangi pagar. Aku juga berjongkok. Lalu, jembatan Eitai melintas di atas kepala kami.
"Maaf, sepertinya tidak serendah yang aku kira. Dan tidak mungkin itu akan menabrak kita."
Aku berjongkok di depan Fuyutsuki, dan wajah kami lebih dekat dari yang aku kira.
"Apa yang ada di sana?"
Fuyutsuki bertanya dengan senyuman.
Melihatnya begitu bahagia seperti ini membuat berpikir, "Aku ingin melihatnya lagi lain kali."
"Apa yang salah?"
Fuyutsuki tersenyum riang. Melihat Fuyutsuki begitu senang, aku merasa ingin membuatnya senang lagi di lain waktu.
Aku menyadari bahwa orang yang selalu tersenyum dan tertawa seperti ini bisa menarik perhatian orang lain. Sungguh mengagumkan bagaimana dia bisa tertawa seceria ini dalam situasi di mana dia tidak bisa melihat.
Saat ini, Fuyutsuki terlihat seperti seseorang yang bersinar dengan cahayanya sendiri.
Wajahnya yang tersenyum begitu dekat. Kapal air membuat suara gemuruh saat memotong air, dan denyut jantungku semakin kencang.
Permukaan air di belakang Fuyutsuki berkilauan terkena sinar matahari. Rasa malu meluap di dalam diriku, jadi aku mengalihkan pandangan dan berdiri.
"Apa kita sudah mencapai Teluk Tokyo?"
Di depan mata kami terbentang lautan yang luas, sedikit bau laut mulai bercampur dengan udara.
"Mungkin sudah waktunya untuk tiba."
"Meskipun dari sudut ini, aku masih tidak bisa melihat universitas."
Kapal berbelok ke kiri. Kami mungkin akan segera tiba di Tsukishima.
Tiba-tiba, kapal menghantam ombak dan sedikit terguncang. Aku segera menyokong bahu Fuyutsuki yang hampir terjatuh.
Bahunya terasa lembut, seperti merangkul kapas.
"Kyaa!"
"Maaf, ma-maafkan aku."
Karena panik, aku dengan cepat meminta maaf karena telah menyentuhnya.
"Tidak masalah, ini sungguh menyenangkan."
Melihat Fuyutsuki tersenyum bahagia dalam pelukanku, aku merasa jantungku berdegup kencang.
-- ♪♪♪ --
"Aku sudah pulang!" aku berbicara setelah kembali ke apartemen di lantai empat puluh enam di Tsukishima.
"Hari ini sungguh menyenangkan!"
Aku mengikuti pegangan tangga dan menghitung pintu yang kedua dari atas sebagai pintu masuk ke apartemenku sendiri.
Setelah kami meninggalkan kafe, aku dan Kakeru-kun mengunjungi beberapa toko kembang api di Asakusabashi.
Kami berjalan hingga lelah dan bahkan menaiki water bus bersama. Kakeru-kun bahkan membuatku banyak tertawa sepanjang hari.
Aku meraba dinding untuk mencari sakelar dan menyalakan lampu. Meskipun lampu di kamar sudah menyala, tapi tentu saja aku tidak bisa melihatnya.
Ini hanya kebiasaan. Ketika aku merasa lampu kamar menyala, aku merasa seperti sudah pulang.
"Selamat datang! Kamu belum makan, kan?" suara ibuku terdengar.
"Aku pulang, ibu! Hari ini, apa makan malamnya?"
"Aku ibu akan membuat tempura."
"Yay!"
Aku sangat lapar setelah berjalan sepanjang hari.
Tentu saja, aku juga merasakan lapar seperti kebanyakan orang. Meski begitu, aku tidak terlalu suka makan di depan orang lain.
Tentu saja, di rumah, aku bisa makan sendiri tanpa bantuan siapa pun. Ibu mengajariku di mana tempat makan berada, aku meraih piring dengan sentuhan tangan, dan membawa makanan ke mulutku.
Aku sudah terbiasa, tapi aku selalu cemas akan noda di sekitar mulutku, itu selalu membuatku khawatir.
Terlebih lagi jika di depan Kakeru-kun.
"Apa kencanmu berhasil?"
"Bagaimana ibu tahu itu kencan?"
"Kamu mengenakan riasan lebih hati-hati dari biasanya dan mengganti baju beberapa kali, bukan?"
Aku merias wajahku sendiri berdasarkan wajah dan ingatan yang kumiliki.
Aku berpakaian sendiri berdasarkan tekstur yang kurasakan dari kain dan warna yang diajarkan ibu.
Meskipun akhirnya aku meminta ibu untuk memeriksa, tapi aku benar-benar berusaha keras untuk merias diriku.
Hari ini, aku lebih bersemangat daripada biasanya.
Aku ingin terlihat baik di mata Kakeru-kun, jadi aku bangun lebih awal dari biasanya. Atau lebih tepatnya, aku bangun karena aku tidak bisa tidur.
Aku mandi dan bersiap-siap dengan penuh perhatian. Aku tidak merasa itu sulit. Sebaliknya, hanya dengan berpakaian dan berdandan saja, aku sudah merasa sangat senang.
Aku bertanya-tanya bagaimana aku akan terlihat saat bertemu dengan Kakeru-kun. Itulah yang saya rasakan.
"Ibu bisa melihatmu senyumanmu tahu."
Suara tawa ibuku terdengar. Aku tersenyum saat mengingat tentang kencan dengan Kakeru-kun hari ini.
Rasa malu tumbuh dalam diriku, dan aku berkata, "Aku tidak tersenyum begitu~" sambil mencoba menyembunyikan wajahku.
Kakeru-kun menjelaskan segala hal tentang kembang api yang bahkan belum pernah dia lihat sebelumnya.
Dia memberi penjelasan tentang penampilan visualnya, catatan, dan anotasi yang mungkin ada.
Pada akhirnya, suaranya sampai serak karena berbicara terlalu banyak.
Itulah salah satu hal yang aku anggap baik tentangnya.
Walaupun ini adalah kencan singkat yang hanya berlangsung setengah hari atau bahkan kurang. Tapi, aku sangat senang karena dia meluangkan waktu untukku, dan aku merasa senang bisa bersamanya.
Kadang-kadang, Kakeru berbicara dengan suara yang sangat lembut, untuk tidak menyakiti perasaanku,
---Jika kamu tidak mau membicarakan tentang hal ini, maka tidak masalah.---
Kata-katanya membuatku merasa bahwa dia peduli padaku.
Menghadapi kenyataan bahwa aku tidak bisa melihat adalah hal yang sulit, meskipun aku tetap bisa keluar dan menjalani hidup dengan baik.
Tapi, dunia ini masih memiliki orang-orang yang meragukan atau tidak memahami. Sayang sekali, mereka ada banyak di luar sana.
Bagiku, kehilangan penglihatan adalah hal yang jarang terjadi. Aku pikir banyak orang tidak terbiasa dengannya.
Bagi semua orang yang seperti itu, aku selalu ingin mengatakan, "Ini adalah hal yang biasa."
Memang benar, saat pertama kali tahu bahwa aku akan kehilangan penglihatan, itu adalah hal yang mengejutkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, aku bisa terbiasa dan menerimanya. Aku masih bisa makan, mandi, menggunakan ponsel, mendengarkan buku audio, berdandan, dan berpakaian.
Ada hal-hal yang tidak bisa aku lakukan sendiri, tetapi aku selalu belajar untuk menerima bantuan dari orang lain ketika diperlukan.
Aku juga bertemu dengan orang-orang baik melalui proses itu. Itulah sebabnya aku ingin mengatakan kepada semua orang yang khawatir, untuk jangan terlalu terpuruk karenanya.
Meskipun aku tidak bisa melihat, aku masih memiliki banyak hal yang ingin aku lakukan. Namun, seringkali aku dilihat sebagai seseorang yang mungkin memiliki kesulitan.
Dilihat sebagai seseorang yang mungkin memiliki kesulitan, membuat orang menjaga jarak dariku. Itulah yang paling membuatku sedih.
Saat aku memikirkannya, Kakeru-kun adalah pengecualian.
"Uh, tentang itu, bagaimana perasaanmu saat tidak bisa melihat? Apakah itu seperti berada dalam kegelapan?"
Dia benar-benar mencoba untuk memahaminya.
"Umm..." ketika aku menjawab seperti itu, aku mendengar suara yang ragu, sehingga aku tersenyum.
"Orang-orang cenderung berpikir bahwa pandanganku benar-benar hitam, tapi dalam kasusku, itu sebaliknya."
"Sebaliknya?"
"Iya, seperti berada di dalam kabut putih yang transparan, begitulah."
"Oh..."
Kata itu keluar lagi, 'Oh...' Mungkin itu memang kebiasaannya.
Aku merasa itu lucu bahwa dia benar-benar memikirkan apa yang harus dikatakan. Itulah salah satu hal yang aku suka tentangnya.
"Jika kamu tidak ingin berbicara tentang itu, kamu tidak perlu memaksakan diri."
"Tidak, ini baik-baik saja."
"Ngomong-ngomong... Sejak kapan kamu mulai kehilangan penglihatan?"
Aku didiagnosis mengalami kanker ketika berada di kelas enam SD.
Mereka mengatakan ada tumor seukuran kuku jari kecil di otakku. Operasi pertama berjalan lancar, terasa seperti tidak terjadi apa-apa. Aku bahkan bertanya, "Sudah selesai?"
Tapi kemudian, saat aku kelas tiga SMP, mereka menemukan penyebaran kankernya. Itu ada didalam retina kedua mataku.
Mereka memberiku pilihan: apakah mereka harus mengangkat mataku atau apakah aku ingin menjalani operasi dan kemoterapi.
Aku memilih untuk menjalani terapi dan mempertahankan mataku. Aku menjalani operasi, dan kemudian menjalani terapi kanker.
Aku juga harus tinggal di rumah sakit untuk waktu yang cukup lama kali ini, hingga aku bahkan tidak bisa menghadiri upacara kelulusan.
"Terapi kanker sangat sulit. Rambutku rontok, aku merasa sangat lemas, dan aku bahkan mengalami serangan kecemasan."
Aku merasa, untuk beberapa alasan, aku ingin dia mendengarkan semua ini. Jadi aku menceritakan semuanya.
"Kemudian aku kehilangan penglihatanku. Aku belajar Braille, belajar, dan akhirnya aku berhasil mendapatkan gelar SMA dalam empat tahun. Sebenarnya, aku satu tahun diatasmu, Kakeru-kun. Tolong hormati aku dengan baik..."
Aku menceritakan semuanya dan di akhir, aku mengatakan sesuatu dengan nada bercanda.
Aku merasa itu adalah pengakuan yang berani. Aku merasa ragu saat mengatakan bahwa aku satu tahun diatasnya. Mungkin itu terdengar sombong.
Tapi yang dia katakan adalah, "Oh." dengan sangat biasa dan dia melanjutkan dengan suara lembut.
"Kapan ulang tahunmu lagi, Fuyutsuki?"
"28 Maret."
"Ah, aku 2 April. Tidak terlalu berbeda, kan?"
Sebagai seseorang yang lebih tua hanya selama lima hari, panggilan "kamu" sudah cukup.
Itulah yang Kakeru-kun katakan.
"Aku tahu itu sulit. Aku tahu kamu berjuang keras." Aku tidak ingin dikasihani dengan kata-kata semacam itu.
Aku tidak ingin dipandang sebagai seseorang yang patut disayangkan.
Aku hanya ingin dia mendengarku dengan tanpa penilaian. Kakeru-kun sepertinya benar-benar memahaminya.
Inilah yang kusuka. Ini adalah hal yang kusuka. Kelembutan seperti ini, sungguh tak terlukiskan.
"Kakeru-kun itu..."
"Hmm?"
"...sangat baik, ya?"
Ketika aku berkata demikian, Kakeru-kun dengan canggung menyangkalnya. Suaranya yang panik itu begitu menggemaskan.
Aku suka bagian seperti ini. Aku suka bahwa dia dengan lembut peduli padaku seperti ini.
Aku suka tangannya yang hangat. Aku suka suaranya yang tinggi. Aku suka ketika dia membuatku tertawa. Aku suka sisi baik hatinya.
Aku merindukan wajahnya yang tak pernah kulihat, tetapi entah mengapa, aku berpikir bahwa jika aku bisa melihatnya, aku pasti masih akan menyukainya.
Aku... mencintai Kakeru-kun.
Tetapi sesekali aku bertanya-tanya.
Apakah dia akan membenci seorang penyandang disabilitas? Aku berpikir seperti itu. Namun, aku tahu bahwa Kakeru-kun bukanlah orang yang seperti itu.
Meskipun begitu, aku masih merasa sangat cemas dan takut.
Dan begitulah saat kita berbicara tentang bagaimana aku kehilangan penglihatanku. Itu akan menjadi sama jika aku bisa melihat atau tidak.
Dan pada akhirnya, aku menyadari bahwa mengungkapkan perasaan itu pada dasarnya sangat menakutkan.
Seketika itu, aku merasa bahagia hingga pipiku melonggar. Aku merasa bahagia karena aku dapat mengenal cinta, bahkan dalam keadaan seperti ini.
Apa yang dipikirkan oleh Kakeru-kun? Aku ingin dia juga membalas perasaanku.
Haruskah aku yang mengungkapkannya lebih dulu? Tapi, bagaimana jika dia menolaknya?
Meskipun kami telah bertukar kontak LINE, dia bahkan tidak pernah menghubungiku.
Aku tertawa. Aku merasa senang. Senang dan kesakitan....
"Kakeru-kun..."
Hatiku hampir meledak. Aku tidak bisa mengontrol perasaan campur aduk ini.
◎◎◆◎◎
Sebenarnya, ada satu hal yang membuatku ingin segera pindah dari asrama murah seharga sepuluh ribu yen ini.
Masalahnya bukan soal kamar berdua, sirkuit listrik yang sering mati, atau kamar mandi yang terpisah. Kami telah mengatasi masalah-masalah kecil itu.
Jadi, apa masalahnya?
Itu adalah pelatihan Cutter.
Ini adalah latihan yang diwajibkan untuk semua penghuni asrama, sebuah tradisi yang telah berlangsung selama ratusan tahun atau lebih, yang dimulai sejak kedatangan kapal hitam pertama ke Jepang, dimana mengharuskan semua penghuni asrama naik ke perahu kecil yang disebut Cutter.
Mereka harus berkumpul di Dermaga Harumi sebelum jam lima pagi, naik ke Cutter, dan terus-menerus mendayung sambil meneriakkan seruan dengan penuh semangat hingga matahari terbit.
Beberapa di antara kami mendapatkan luka bakar di tangan, dan yang lainnya mengalami kulit terkelupas di pantat. Ini adalah tradisi yang sangat ketinggalan zaman.
Semua ini dilakukan untuk acara 'Pengalaman Naik Kapal Kayu' yang diadakan oleh penghuni asrama pada awal Juni saat festival berlangsung.
Pengalaman naik kapal kayu adalah salah satu acara paling populer dalam festival tersebut.
Pada saat itu, kami harus mengurangi jumlah pendayung dari dua baris enam orang menjadi hanya tiga baris dua orang saja, sehingga ada lebih banyak tempat duduk untuk pengunjung festival.
Kemudian, kami membawa pengunjung melintasi Teluk Tokyo yang terdiri dari tiga pulau, yaitu Echujima, Tsukishima, dan Toyosu, melewati Jembatan Harumi, dan mengelilingi area tersebut sebelum kembali ke Dermaga Harumi.
Sejak awal, ketika jumlah pendayung berkurang setengahnya, beban yang diberikan sangat luar biasa.
Ketika penumpang masuk, kapal menjadi sangat berat seperti berlayar di dalam laut timah.
Selama dua hari akhir pekan festival, meskipun ada istirahat tengah hari, kapal harus terus berlayar dari pukul sebelas pagi hingga empat sore. Semuanya berlangsung empat kali dalam sehari.
Ini sudah melewati batas penyiksaan. Rasa sakit melanda di lengan, bahu, dan pinggang, dan nyeri-nyeri otot itu sudah pasti. Jika kamu berhasil bertahan melalui seluruh siksaan ini, maka tubuhmu akan mengalami perubahan signifikan.
Bagiku yang tidak tertarik untuk mendapatkan tubuh berotot, itu adalah situasi yang cukup serius sampai-sampai aku benar-benar memikirkan untuk pulang ke rumah daripada tinggal di asrama.
Dan akhirnya, saat festival universitas tiba. Yang tersisa hanyalah bertahan hingga pelayaran terakhir.
Sangat luar biasa bahwa kami telah bertahan sampai saat ini.
Akhirnya, kita akan dibebaskan dari neraka ini...
Itu adalah perasaan lega saat naik Cutter untuk terakhir kalinya.
Di sebelahku, Narumi semakin kuat karena latihan yang terus berulang.
Sedangkan di kursi depan, ada dua wanita dengan jaket pelampung yang tersenyum.
"Kakeru-kun, semangat!"
"Eh, kenapa kita kok belok ke kanan?"
Mengapa dua orang ini ada disana?
"Sorano, ayo semangat!"
"Narumi kau terlalu cepat!"
"Kyaa!" Fuyutsuki terkejut kecil.
"Fuyutsuki, kamu baik-baik saja? Tidak takut?" Aku khawatir, apakah dia akan baik-baik saja dengan penglihatannya yang hilang.
Tapi dia sendiri, dia...
"Sangat menyenangkan!" Dia terlihat sangat bersemangat, begitu bahagia.
"Kenapa kamu begitu senang?"
"Bau air laut, anginnya, semuanya begitu menyenangkan! Apa yang bisa lebih menyenangkan daripada ini?"
Cipratan air naik. Aku merasakan sensasi dingin di pipi dan mencium bau air laut yang kuat.
Di sana, Fuyutsuki tersenyum. Fuyutsuki dengan senyuman cerahnya berada di sana.
Kenapa ya? Senyuman itu selalu menarik perhatianku.
"Benar, benar! Laut adalah romansa bagi pria! Ini menggetarkan hati kita, jangan melepaskan perasaan untuk merasakannya!"
Narumi berteriak "Eisa" lalu mendorong dayungnya ke atas permukaan air.
Aku juga mengikuti posisinya. Berteriak, "Hoisaa" lalu menarik erat dayung dengan seluruh tubuhku.
Dayung yang mengenai air dengan keras menghasilkan dorongan yang kuat. Perahu terus meluncur maju.
Dengan inersia yang diciptakan oleh perahu, Fuyutsuki tertawa, bergoyang ke depan dan ke belakang sambil berkata, "Keren!"
Narumi yang bersemangat 100 persen berteriak, "Eisa!" dengan keras. Aku agak kesal, tapi aku kembali mengikuti "Eisa".
"Setelah ini selesai, aku akan keluar dari universitas dan mulai menanam sayuran di rumah..."
Aku mengatakannya seperti menggantungkan bendera putih. Tapi kemudian, gadis polos di depanku berkata, "Eh, apa kamu benar-benar akan berhenti dari universitas?"
Dengan cepat, dia menggigit umpanku.
"Koharu-chan, itu tidak benar. Jangan pernah ikut dalam lelucon bodohnya."
Sejak tadi, Hayase terus menggenggam erat tangan Fuyutsuki dengan wajah pucat.
"Eh, Hayase *HOISAA*, kamu baik-baik saja?"
"Ah, apa *EISAA* yang kamu katakan!?"
Upaya untuk memastikan Hayase baik-baik saja seolah tenggelam oleh suara ribut dari Narumi, yang terus berteriak teriak tak jelas.
"Hayase! Kamu baik-baik saja *EISAA*?" suara Namiho terdengar lagi.
"Apa yang *HOISAA* kamu katakan!?" Hayase semakin marah.
"HOISAA!!!" Namiho masih terus berisik.
"EISAA!!!" Lagi-lagi suaranya muncul bersamaan.
Teriakan Narumi terus terngiang-ngiang sejak tadi. Terus-menerus tumpang tindih dalam percakapan semua orang.
Aku memutuskan untuk memberikan saran kepada sesama kru senior yang duduk di buritan untuk menjaga perahu sejajar dengan permukaan laut.
"Kita harus melambat karena beberapa dari kita mungkin mabuk laut."
Semua orang mengangkat dayung mereka dan berhenti mendayung.
"Terima kasih." kata Hayase.
"Kamu begitu baik." kata Fuyutsuki.
"Maaf ya, aku terlalu bersemangat tadi."
Perahu bergerak perlahan. Dari permukaan laut, bangunan tinggi di Tsukishima terlihat lebih tinggi. Matahari bersinar di atas laut, yang berkilau seperti cermin.
Angin sepoi-sepoi bertiup, dan Fuyutsuki merasa anginnya membelai rambutnya.
Tiba-tiba, Fuyutsuki merasa terpesona oleh keadaan ini. Ketika dia menyadarinya, dia merasa malu jika dia sadar, dan merasa canggung jika dia tidak sadar.
"Apakah kalian tahu?" Fuyutsuki tersenyum lembut sambil mengerutkan matanya. "Di akhir festival, selalu ada pertunjukan kembang api, bagaimana kalau kita bersama-sama melihatnya?"
"Aku harus menjadi anggota panitia festival, jadi aku tidak bisa menemanimu, Koharu-chan."
"Aku memiliki shift malam mulai pukul 19.00."
Setelah kekacauan ini, dia masih harus bekerja paruh waktu? Sepertinya sistem saraf di otaknya sudah mati karena lelah.
"Baiklah, aku akan menemanimu. Mari kita bertemu setelah ini di teras universitas. Tunggu aku di sana."
"Oke!" Fuyutsuki terlihat sangat senang dengan perkataanku.
"Lebih dari itu, kita bahkan belum menggunakan kembang api yang kita beli..."
"Benar sekali. Jika aku tahu kita akan menembakkan kembang api selama festival, kami tidak perlu membelinya sebanyak itu sebelumnya."
"Haha, memang apa-apaan itu?" Aku tersenyum sambil menggelengkan kepala, dan Hayase mulai mengolok-olokku, "Tidak apa-apa, kan kamu sudah mendapatkan waktu kencan dengan Koharu-chan."
Tapi kemudian, Narumi menambahkan informasi yang tidak diperlukan, "Dia sudah mandi sebelum berangkat, tahu."
"Seriusan, Koharu-chan... hati-hati ya," kata Hayase dengan mata tajam.
"Hati-hati bagaimana?" Fuyutsuki bertanya dengan ekspresi bingung.
"Serius, hentikan itu." kataku dengan nada marah, mencoba mengalihkan perhatian dari topik itu.
Tapi tiba-tiba, perahu terguncang.
"Hyaa!" Hayase berteriak kaget.
Di dalam perahu, tawa tersenyum muncul saat mendengar teriakan Hayase.
"Hentikan, jangan tertawa semuanya!" Hayase mengatakan sambil merasa malu, dan itu justru membuat kami tertawa lebih keras.
Aku merasa cahaya matahari yang miring saat perahu menghadap ke arah universitas.
Semakin dekat dengan universitas, kami mulai mendengar musik dari panggung dan sorak-sorai kerumunan, meskipun liriknya tidak terlalu jelas.
◎◎◆◎◎
Apakah menggunakan otot secara berlebihan bisa menyebabkan nyeri otot bahkan pada hari yang sama? Aku merasa otot-ototku gemetaran, lengan bengkok, dan pinggangku terasa sakit.
Aku bahkan tidak memiliki cukup kekuatan untuk membuka tutup botol, dan kakiku seperti tidak memiliki daya tahan. Tubuhku merasa rusak parah.
Mungkin karena kita berada di atas air begitu lama, sekarang aku merasa tanah bergetar saat aku berjalan. Semuanya terasa begitu sulit untuk berjalan.
Sambil menarik kaki yang berat, aku menuju ke tempat duduk kami yang biasa di teras.
Entah, kenapa... Saat aku mulai menyadari bahwa 'kami akan bertemu', aku menjadi gugup.
---Aku harus menjadi anggota panitia festival.---
---Aku memiliki shift malam mulai pukul 19.00---
Ketika aku mendengar kata-kata ini dari Hayase dan Narumi, aku merasa seperti otakku membeku.
Aku merasa sangat senang. Aku tidak tahu, tapi mungkin memang itulah yang sedang terjadi.
Aku bertanya-tanya, sejak kapankah itu terjadi? Apa sejak aku melihat Fuyutsuki yang begitu ceria tadi?
Ataukah mungkin ini terjadi lebih jauh sebelumnya?
Aku merasa begitu bersemangat tentang 'bertemu berdua' dengan Fuyutsuki.
Di depan toko serba ada, tempat teras kami biasanya berada, hanya sedikit orang.
Festival universitas berlangsung di lapangan rumput besar di dekat gerbang utama.
Saat ini, sedang ada kontes yukata yang merupakan acara terakhir. Suara keras Hayase terdengar melalui pengeras suara.
Mungkin dia menjadi pembawa acara atau sesuatu. Ini membuatku mulai mengaguminya, meskipun kita sangat berbeda.
.
Fuyutsuki duduk di tempat biasanya, menikmati secangkir teh susu.
Di tengah dunia yang perlahan-lahan terlukis dengan warna oranye, dia duduk menungguku.
Saat aku melihat Fuyutsuki, detak jantungku berdegup seolah melompat-lompat. Aku menahan dadaku, kemudian menyapanya.
"Maaf, apa aku membuatmu menunggu?"
"Ngg... Tidak apa-apa. Aku tidak menunggu terlalu lama."
"Apakah teh susu ini sudah dingin?"
"Karena ini gelas kertas, jadi memang mudah sekali menjadi dingin."
Meskipun musim panas telah dimulai, angin yang sejuk masih terus bertiup.
Di kejauhan, ada sorak sorai dari kontes yukata. Aku bisa mendengar suara Hayase yang bersemangat bergema di bawah matahari terbenam.
"Kakeru-kun?"
"Hm?"
"Aku pikir kamu sudah pergi..."
"Karena aku mencoba menyembunyikan kehadiranku lagi."
"Kamu selalu begitu nakal."
Kami tertawa bersama saat berinteraksi seperti biasanya. Aku suka atmosfer ini.
Dengan suara pelan, Fuyutsuki berkata, "Aku juga ingin mengenakan yukata..."
"Yukata dari keluarga Fuyutsuki pastilah mahal."
"Dulu, ibuku memiliki yukata dengan pola naga legendaris, dan ada obi yang serasi. Aku selalu ingin mencobanya."
"Kamu bisa saja mengikuti kontesnya lho?"
"Apakah aku harus melakukannya?"
"Kalau Fuyutsuki yang mengikuti, pasti akan langsung mendapat peringkat pertama."
"Jika aku ikut kontes yukata itu, akankah kamu memberikan suara untukku?"
"Tentu saja."
"Dalam keadaanku yang seperti sekarang ini, apakah kamu tetap akan memilihku sebagai yang terbaik, bahkan jika mataku tidak bisa melihat?"
Suara Fuyutsuki bergetar sangat lemah, hampir seperti suara yang akan segera menghilang.
Dalam suaranya yang penuh keraguan, Fuyutsuki mempertanyakan hal itu.
Begitu jelas, aku bisa melihat kekhawatiran Fuyutsuki yang terpancar dari wajahnya. Ini adalah pertama kalinya aku melihat dia seperti ini.
"Memangnya, apakah ada perbedaan untuk disabilitas yang berhubungan dengan kontes yukata?"
Aku tak ingin mendengar argumen semacam itu. Ketika mengatakannya, tiba-tiba saya merasa cemas.
Tentu saja, itu tidak tidak ada hubungannya. Setiap orang pasti memikirkan itu dalam hati mereka.
Kita tidak selalu bisa memperlakukan semuanya sama rata. Namun begitu...
"Tetap saja, aku merasa telah memilih Fuyutsuki tanpa mempertimbangkan itu semua."
Wajah Fuyutsuki terlihat merah, mungkin karena matahari terbenam.
"Itu seperti..." Fuyutsuki berkata sambil sedikit ragu-ragu, "Seolah-olah pengakuan cinta."
Fuyutsuki memang pintar dalam bercanda seperti ini. Cara dia merayuku begitu licik.
"Tidak, tidak." Aku dengan cepat menjawab, "Aku hanya berarti bahwa kamu sepertinya sangat cocok dengan yukata karena penampilanmu."
"Penampilan?"
Aku merasa canggung saat dia memandangi wajahku yang begitu rata.
"Bukan, bukan, bukan begitu. Aku hanya mengartikan bahwa seorang gadis dari keluarga kaya sepertimu pasti terlihat cantik mengenakan yukata."
"Apakah begitu?"
Fuyutsuki tertawa.
Sinar matahari terbenam membuatnya tampak bersinar.
Tiba-tiba, tanpa sadar aku mengucapkannya...
Perasaan yang menjadi sumber keraguanku selama ini...
"Aku suka padamu."
Seakan waktu telah berhenti, Fuyutsuki diam membeku, sebelum akhirnya tampak khawatir.
"U-uh, a-apa?" Dia terkejut.
Dalam panik, aku mencoba menyembunyikan maksudkubsebenarnya, "Ah, aku hanya berbicara tentang betapa kamu sangat suka dengan kembang api. Haha... Kamu selalu mengatakan bahwa kamu menyukainya.. bukan?"
Fuyutsuki dengan ringan tertawa dan memandang kearah langit.
"Aku pikir akan bagus jika kita bisa meluncurkan kembang api sendiri suatu saat nanti. Itu akan menjadi momen spesial, sesuatu yang akan kita kenang seumur hidup."
Aku merasa, saat ini Fuyutsuki sedang membayangkan kembang api di atas langit. Langit yang tidak akan pernah dapat dia lihat lagi...
"Kembang api yang kita beli beberapa waktu lalu... Itu benar-benar berat, bukan?"
"Saat ini, semuanya terbaring di sudut ruangan, mungkin sedang kesal."
"Jika kita akan meluncurkan kembang api di festival, aku harap kamu akan memberitahuku."
"Kapan kira-kira itu?"
"Hmm... Mungkin saat upacara masuk kuliah."
"Selamat datang, semuanya. Walaupun masih lama, di festival sekolah kita akan menyalakan kembang api, bagaimana dengan itu?" Sambil tersenyum, aku menggoda Fuyutsuki.
Ketika kami melihat ke langit, awan hitam mulai muncul. Angin dingin mulai bertiup.
[Dan sekarang, kami akan mengumumkan pemenang kontes yukata!]
Suara Hayase terdengar jauh, diikuti dengan sorak-sorai meriah.
Kami mendengarkannya bersama-sama.
Menghabiskan waktu bersama dalam suasana yang tenang, kami saling berbicara dalam percakapan yang tidak benar-benar masuk akal, seperti "Yuko-chan pasti akan kehilangan suaranya besok," atau "Semua orang selalu melakukan hal seperti itu, ya kan?" di bawah atmosfer yang tenang.
Tiba-tiba, sesuatu yang tidak diharapkan terjadi.
Titik-titik hujan mulai jatuh. Dalam sekejap, aroma hujan mulai terasa, dan suara hujan tiba-tiba menjadi lebih keras.
Acara kembang api dibatalkan, jadi kami terpaksa harus pulang bersama-sama di bawah satu payung menuju apartemen Fuyutsuki.
Saat kami harus berpisah di depan apartemen, hal yang tidak pernah diduga terjadi...
Pada hari ini, di bawah payung berwarna gelap, dan hujan rintik-rintik.
Untuk pertama kalinya... bibir kami bersatu dalam ciuman yang manis...
Post a Comment