NWQA9y4fvqTQ9rz5lZU0Ky7avuunQd0OpkNmfOuq
Bookmark

[LN] Zettai Ni Ore O Hitorijime Shitai 6-ri No Mein Hiroin Season 1. Sate, Dare Kara Furou Ka? - Volume 1 - Chapter 1 [IND]

 


Translator: Qirin

Editor: Rion

Chapter 1 - Undangan Belajar Di Luar Negeri Karena Cinta




 "Kamu tahu Shinichi, 'cinta sejati' itu mengacu pada hubungan di mana 'kepentingan sama-sama sejalan'." 

Dia mengucapkan kata-kata itu sambil menatap seorang anak dari atas ranjang rumah sakit.


"'Suka dengan wajahnya' atau 'cocok dengan kepribadiannya'. Hal-hal semacam itu hanyalah ikatan yang tidak pasti, sebuah perasaan yang bisa berubah kapan saja. Penampilan dan kepribadian seseorang bisa berubah besok, dan bahkan preferensi kita sendiri tidak akan selamanya sama, bukan? Itu mungkin memang tergolong sebagai 'cinta', tetapi bukanlah 'cinta sejati'. Kebanyakan hubungan bisa tiba-tiba pudar seakan kehilangan sihirnya secara tiba-tiba. Itu sering terjadi." 

Mengingat lawan berbicaranya adalah anak sekolah dasar, mungkin ini adalah topik yang sulit dipahami.


"Tapi, tahu tidak? Dengan seseorang yang memiliki kepentingan yang sejalan, hubungan itu kuat. Karena kepentingan yang sejalan berarti bahwa apa yang menguntungkan orang lain juga menguntungkan diri kita sendiri, dan apa yang merugikan orang lain juga merugikan diri kita sendiri. Setiap orang akan cenderung untuk memperjuangkan kepentingan diri sendiri dan berusaha menghindari kerugian diri sendiri, bukan?"

"...Begitukah?."

Meskipun begitu, dari suara yang terdengar, nampaknya anak itu mengerti isi pembicaraan tersebut dan menganggukkan kepalanya sebagai bentuk tanggapan.


"Oleh karena itu, aku ingin Shinichi menikah dengan seseorang yang bisa membentuk ikatan cinta sejati seperti itu. Aku yakin kamu akan menjadi bahagia jika itu terjadi. Itulah harapan ibu."

"Tapi... jadi, ibu, apakah ibu tidak mencintai aku atau ayah?"

Wanita itu mengerutkan kening dengan wajah bingung sebagai respons terhadap pertanyaan tersebut.


"Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

"Karena kami tidak bisa melakukan apa pun untuk membantu ibu. Kami tidak bisa menyembuhkan penyakit ibu," kataku sambil mengekspresikan kekhawatiranku.

Sambil mengatakan itu, anak kecil yang lemah itu mulai menangis. 

Di dalam pandangan yang kabur, terasa sentuhan lembut pelukan.

Lalu, dengan suara yang hampir menangis, wanita itu tersenyum sembari mengatakan…


"Apa yang kamu bicarakan? Kepentingan kita sungguh sejalan, tahu?. Karena.."


***


"...Hah!?" 

Saat membuka mata, sekumpulan bercak di langit-langit yang sudah aku kenal datang menyambutku.


"Mimpi itu lagi..."

Di sudut kamar berukuran empat setengah tatami, aku bangun dari tempat tidur dan mengelap keringat dengan ujung baju kaos yang aku kenakan. 

Entah kenapa, aku sering mengalami mimpi tentang saat itu. 

Itu terjadi 10 tahun yang lalu, saat aku berusia 7 tahun, hanya beberapa waktu sebelum ibuku, Kaede Hirakawa, meninggal dunia. 

Aku seharusnya sudah mendengar lanjutan dari kata-katanya, tapi entah mengapa, karena terlalu banyak menangis, aku sama sekali tak bisa mengingatnya sampai sekarang.


TL/N: nama Kaede kok pasaran bet ya


Aku bertanya-tanya, apakah ada dorongan dalam alam bawah sadarku yang ingin tahu apa jawabannya? 

Sebuah dorongan yang membuatku terus-menerus melihat mimpi itu, mimpi yang menuntutku untuk mengingatnya kembali entah bagaimanapun caranya?

Aku mencuci wajahku dengan air dingin dan menggigit bagian pinggiran roti sebagai sarapan.

Di tempat kerjaku di toko roti, aku bisa mendapatkan potongan roti yang dipotong untuk sandwich secara gratis. Aku merasa kembali yakin bahwa negara ini kaya dengan memiliki makanan yang enak seperti ini, meskipun aku adalah seorang karyawan dan mendapatkannya secara gratis.

Biasanya, setelah ini, aku akan memasak tumis bahan sisa (sayuran yang hampir kadaluarsa atau memiliki penampilan yang kurang menarik yang dijual murah di supermarket) dengan garam, merica, dan kecap lalu mengemasnya dalam kotak bekal. 

Tapi, karena hari ini tidak ada waktu istirahat siang, jadi itu tidak diperlukan.


TL/N: Miris banget hidupmu.

ED/N: Ngaca bang... Hhe


Setelah beberapa waktu sarapan singkat, aku mengganti pakaianku dengan seragam lalu berangkat meninggalkan rumah.

Hari ini adalah upacara penutupan semester pertama. Di luar, udara sudah panas sejak pagi.

Machi HighSchool adalah sebuah sekolah swasta khusus laki-laki yang terletak di Musashino, Tokyo, Jepang.


Ketika aku masuk ke sekolah dan melewati pintu kelas, aku melihat teman sekelas yang duduk di kursiku. Sembari menepuk bahu pria yang tergeletak di kursi belakang, dia juga mencoba untuk menghiburnya.


"Hei, berhentilah menangis begitu, kau itu laki-laki kan? Sungguh memalukan, tahu?" 

"Bacot! Perasaan sedih karena berhentinya idolaku tidak ada hubungannya dengan jadi laki-laki maupun perempuan, tahu... Aaarrgh, mengapa Ria-chan memutuskan berhenti secara tiba-tiba seperti ini...!" 

"Jadi Ria Meguro memutuskan untuk pensiun, ya? Bukan karena skandal atau sesuatu yang buruk, kan? Itu aneh, mengingat dia sedang berada di puncak popularitas dan masa keemasannya. Tapi ya, ini membuatnya menjadi ikon yang tak terlupakan juga, sih."

Sepertinya siswa di kursi di belakangku sedang menangis karena idolanya memutuskan untuk pensiun.

Aku merasa khawatir bahwa aku akan mengganggu mereka jika aku mendekat. Tapi, bagaimanapun aku tidak punya tempat lain untuk pergi. 

Sambil memikirkan apa yang harus kulakukan, aku perlahan mendekati tempat dudukku.


"Kemarin juga ada berita yang mengumunkan bahwa aktris Kanda Reona akan berhenti berakting karena melanjutkan studi di luar negeri. Berita yang menggemparkan terus saja berdatangan. Padahal aku juga mendukung Kanda Reona sejak dia masih menjadi aktris cilik...."

Sambil mengutak-atik ponselnya, teman sekelas di kursiku berkata, lalu matanya membesar, 


"Tunggu, apa ini!?"

"Apa lagi....?" 

"Youtuber Shibuya Yuu juga mengumumkan bahwa dia akan berhenti beraktivitas!" 

"Serius?!... Industri hiburan Jepang sedang dalam keadaan apa sih...!"

Tampaknya banyak pengumuman mengenai pensiun dan penghentian kegiatan dari berbagai selebriti. Namun, yang menjadi masalah terbesar bagiku saat ini adalah fakta bahwa aku sudah sampai di depan kursiku sendiri.

Aku mengeluarkan suara kecil dari tenggorokanku. 

Aku berusaha menyuarakannya dengan suara yang lembut, berharap tidak membuat orang lain takut.


"Selamat pagi, itu, kursiku--"

"A-aku minta maaf, Hirakawa-san!"

Kedua wajah teman sekelasku itu cecara bersamaan menjadi pucat setelah mendengar kata-kataku.

 "Ahh, tidak perlu khawatir..."

...aku memanglah tidak butuh banyak teman. Bagiku punya beberapa teman yang penting saha sudah cukup. Tapi, bukan berarti aku tidak ingin disukai orang lain.

Sambil kembali teringat akan ayahku, aku juga menyadari kembali impianku sendiri.


Setelah upacara penutupan semester selesai dan aku menerima laporan nilai 10 untuk semua mata pelajaran, aku segera pulang kerumah.

Dengan ini, beasiswa penuh untuk biaya sekolah selama semester depan sudah terpenuhi. Meskipun aku tetap tidak bisa bersantai, tapi aku merasakan sedikit rasa lega karena beban di pundakku sedikit berkurang.

Setelah pulang, aku akan membuat tumisan bahan sisa seperti biasa untuk mengisi tenaga kembali.


"...Jadi, aku adalah 'Murid penyendiri yang berjuang tanpa alasan, ya?'"

Tiba-tiba, aku teringat kata-kata yang dikatakan oleh Sakiho kemarin, dan aku menghela nafas dengan hati-hati.

Ada alasan mengapa aku menjalani kehidupan miskin yang penuh dengan kerja keras.

Secara singkat, tujuan utamaku adalah mengambil alih perusahaan yang dimiliki oleh ayahku, yaitu Hirakawa Group, tanpa harus mengandalkan bantuan darinya.

Hubungan buruk antara aku dan ayahku, Shinnosuke Hirakawa, bukanlah sesuatu yang ada sedari awal (meskipun mungkin dia tidak melihatku seperti itu.) Sebaliknya, dulu aku sangat menghormati ayahku dari lubuk hatiku.

Karena ayah sibuk dengan jadwal yang padat, aku jarang sekali memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya. Namun, sebagai gantinya, aku selalu diperlakukan dengan penuh kasih sayang oleh karyawan dari perusahaan Hirakawa Group. 

Mereka selalu mengungkapkannya dengan antusiasme yang sama.


"Sebenarnya, ayahmu adalah sosok yang luar biasa. Jika bukan karena dia sebagai penerus generasi kedua, Hirakawa Group tidak akan menjadi sebesar ini."

Sebagai seorang anak, aku merasa bangga ketika mendengar ayahku mendapat pujian dan rasa hormat dari orang lain.


Tapi kemudian, semuanya berubah.

Jika ingatanku benar, maka perubahan tiba-tiba dalam kepribadian ayah dimulai ketika ibu meninggal dunia.

Sejak saat itu, dia mulai menguasai perusahaan secara otoriter dengan menggunakan politik ketakutan di dalam dan di luar perusahaan.

Ada banyak kejadian yang menceritakan praktik politik ketakutan yang dilakukan olehnya. Seperti,


Mengirim karyawan yang mengajukan cuti berbayar selama periode sibuk ke daerah terpencil,

Mengancam untuk memberhentikan manajer yang memberikan respons yang bertentangan saat sedang dalam perjalanan dinas. Dan juga,

Membuat divisi yang hanya di isi oleh mereka yang menandatangani perjanjian untuk tidak melawan dirinya, lalu memberikan perlakuan istimewa pada mereka.


Ada banyak cerita tentang kebijakan otoriter yang dia lakukan. 

Belakangan ini, bahkan ada desas-desus yang mengaitkan dia dengan dunia kejahatan. 

Majalah mingguan sering kali menyoroti langkah-langkahnya, hingga reputasinya yang buruk semakin dikenal oleh masyarakat Jepang.


TL/N: Udah kayak diktaktor aja.


Dan sayangnya, anaknya, yaitu aku, menjadi korban atas semua ini.

Orang-orang takut melawan anak dari Shinnosuke Hirakawa karena takut akan balasan yang diterima darinya. 

Kehidupanku selama ini jadi penuh dengan rasa takut dan kekhawatiran. Apalagi, karena semua hal ini orang-orang mulai menghindariku.


Pada musim dingin saat aku berada di kelas dua SMP, aku memiliki kesempatan untuk berbicara dengan ayahku melalui panggilan internasional selama satu menit saja.

Pada saat itu, aku langsung mengatakannya tanpa basa-basi.


"Ayah. Aku akan meninggalkan rumah ini."

Pada saat yang sama, aku telah membulatkan tekadku.

Aku bertekad untuk tak pernah bergantung pada uang yang diperoleh melalui politik ketakutan ayahku dan mencapai ambisiku menjadi Presiden Hirakawa Group.

Aku ingin segera mengembalikan Hirakawa Group ke masa kejayaannya, sama seperti dulu.

Langkah pertama dalam ambisi ini adalah keluar dari ketergantungan pada ayahku secara finansial. Untuk itu, aku perlu menghasilkan penghasilan sendiri setidaknya 110.000 yen per bulan.

Jika aku ingin mengikuti prinsip tidak bergantung pada orang tua, aku juga perlu membayar biaya pendidikanku sendiri. 

Inilah sebabnya aku berusaha keras untuk mendapatkan beasiswa penuh sebagai siswa berprestasi untuk mengatasi masalah biaya pendidikan tersebut.

Pada siang hari, aku berusaha memahami pelajaran sebaik mungkin di sekolah, dan malam harinya aku bekerja keras di pekerjaan paruh waktu. 

Tentu saja, waktu untuk bersenang-senang dengan teman dan juga uang menjadi terbatas, hingga akhirnya aku menjadi seorang siswa pekerja keras dalam kesendirian.

Aku tidak pernah merasa malu dengan cara hidupku ataupun merasa tidak puas karena tidak punya teman. 

Namun, bukan berarti aku menyangkal cara hidup yang penuh dengan kesenangan dan petualangan seperti halnya selama liburan musim panas bersama teman atau kekasih. 

Tolak ukur kebahagiaan berbeda-beda bagi setiap orang.

Sambil berpikir untuk segera menyelesaikan tugas-tugas musim panas, aku memasukkan kunci ke lubang kunci pintu rumahku lalu memutarnya. Tapi pada saat itu, tiba-tiba aku merasa ngeri yang menjalar sepanjang tulang belakangku.

...Kunci tidak berputar dengan sensasi yang biasa.


'Aku, tahun ini benar-benar tidak bisa datang ke sini.'

Dia, dia berbohong kan...!


"Hey, Sakiho...!"

Dengan tiba-tiba aku membuka pintu kuat-kuat.

"Selamat datang kembali, Shinichi-sama,"

Ternyata, bukanlah Sakiho yang ada di sana, melainkan seorang wanita cantik yang duduk dengan sikap sopan.


"...Ehh, I-iya?"

Suara kagetku bergema di dalam ruangan yang sempit.

"Mohon maaf atas kelancangan saya karena tiba-tiba masuk tanpa ijin. Mulai hari ini, selama satu tahun saya akan mendukung Shinichi-sama dalam studi cinta di luar negeri. Saya adalah Juujou Kumi, sekretaris mendiang ibu anda, Hirakawa Kaede."

Seorang wanita cantik dengan setelan (sepertinya berusia awal 20-an) menundukkan kepalanya di tengah-tengah ruanganku yang tak terawat.


"Juujou Kumi-san...? Studi cinta di luar negeri...?" 

Aku mengulanginya, suaraku dipenuhi dengan kebingungan dan ketidakpercayaan.

"Pertama-tama, silakan lihat ini."

Aku merasa sangat tidak mengerti sehingga aku merespons dengan huruf hiragana, dan wanita bernama Juujou itu memberikan sebungkus amplop.


ED/N: Yah intinya frasa ini menggambarkan ketidakmampuannya menyampaikan perasaannya dengan kata-kata yang tepat (soalnya Hiragana itu lebih sederhana) pada saat itu.


"Apa... Ini?"

"Amplop ini berisi beberapa dokumen yang akan membantu anda untuk memahami situasi yang sedang terjadi. Ini adalah surat yang saya terima dari Kaede-sama. Dia meminta agar surat ini diserahkan pada saat ulang tahun ke-17 anda."

Aku merasakan perubahan warna mataku sendiri.

"...dari ibuku?"

"Benar, ini adalah surat dari ibu anda, Hirakawa Kaede-san."

Ini... Surat dari ibuku, yang telah meninggal 10 tahun yang lalu. Dengan tangan gemetar, aku membuka amplop itu dengan hati-hati.

Setelah membuka surat itu, yang pertama kali terlihat di mataku adalah beberapa rangkaian huruf.


---Yahoo~, Shinichi! Ini mama, loh!---

Bunyi pelan 'bang' terdengar saat aku menutup surat itu, menekan mataku, lalu meremas dahiku.

"... Juujou-san. Apakah ini benar-benar dari ibuku...?"

Sambil meremas dahiku, aku menunjukkan surat itu pada Juujou-san.

"Ya, tidak salah lagi. Ini adalah tulisan tangan Kaede-sama."

"Jadi begitu..." 

Kalau begitu, siapa ibu tangguh, lemah lembut, dan keren yang selalu berbicara dengan ku di dalam mimpiku? 

Apa itu ibu khayalan?


"Shinichi-sama... Anda tidak perlu menahan diri, tahu?"

"Aku tidak menangis...!"

Aku membalas dengan keras. Gerakan menekan mataku tampaknya membuatnya salah mengerti. 

Meskipun sebenarnya dalam arti lain, aku memang hampir menangis...


"Baiklah, kali begitu. Jika anda mau, silahkan lanjutkan membaca."

Dengan wajah tanpa ekspresi, Juujou-san memintaku untuk melanjutkan. 

Dia benar-benar tenang, orang ini.

Aku menenangkan kembali pikiranku dan mulai membaca surat itu.


***


 Yahoo~, Shinichi! Ini mama, loh!

Gimana kabarmu? Kamu sehat saja kan? 

 Sebenarnya, Mama menulis surat ini karena ada permintaan khusus untukmu yang sudah berusia 17 tahun! 


 Kumohon, Shinichi. 

Mama ingin kamu meneruskan perusahaan yang Mama dirikan. 


***


"Haah...?"

Juujou-san memandangku dengan ekspresi yang sama seperti sebelumnya, tanpa menunjukkan emosi apapun. 

Aku merasakan bahwa ia tidak akan memberikan penjelasan apapun sampai aku selesai membaca surat tersebut.


***


 Shinichi, tahun depan kamu akan lulus SMA, kan? 

Dan umur 18 tahun adalah umur untuk menikah, kan? (Atau mungkin 17 tahun sudah boleh menikah menurut hukum saat ini?) 

Pokoknya, sampai saat itu, kamu perlu bertunangan dulu! 


Apa kamu tahu bahwa Mama dan Papa menikah setelah menjalin hubungan asmara di dalam perusahaan?

Kamu tahu, Mama dan putra pemilik Hirakawa Group saat itu saling mengelola perusahaan kami sendiri dan selalu bersaing satu sama lain, seperti seorang rival?


 Lalu, untuk perusahaan yang Mama dirikan itu bernama "Verite Corporation"

Yaitu merupakan perusahaan yang fokus bergerak di bidang layanan pernikahan. 

Dari penerbitan majalah pernikahan, rekomendasi tempat, produksi upacara pernikahan, hingga dukungan pasca pernikahan, semuanya menjadi bagian dari bisnis ini. 


 Mama ingin kamu menjadi Presiden perusahaan tersebut. 

Saat kamu berusia 18 tahun, kamu bisa menjadi presiden jika kamu sudah bertunangan. 

Itu sebabnya mama mu ini telah mengatur semuanya sebelumnya!

Karena ini adalah bisnis pernikahan, sedikit sulit jika belum menikah, jadi maafkan mama! 


Tapi jangan khawatir! Demi pernikahanmu, Mamamu ini telah mengalokasikan seluruh hartanya! 

Untuk itulah, mama menyebut rencana ini sebagai "Studi Cinta"!

 

***


"Studi cinta...?"

Meskipun aku masih bingung dengan konsep ini, sepertinya jika aku menemukan pasangan seumur hidup sebelum usia 18 tahun, aku bisa menjadi CEO di perusahaan Verite. 

Dan setelah memahami penjelasannya lebih lanjut, ibu membuat sebuah program bernama "Studi Cinta," yang melibatkan hidup bersama beberapa wanita yang berharap menikah denganku (memangnya, dari mana asalnya mereka?) dan memilih pasangan hidup diantara mereka.

Ibu telah meninggalkan harta yang sangat besar untuk program ini... Studi Cinta, sebuah program yang akan mencarikan pasangan hidup bagiku.


***


Selain itu, jika kamu bercerai, kamu akan segera dilengserkan dari posisi CEO dan tidak akan pernah lagi memiliki keterkaitan dengan Hirakawa Group. Jadi, harap berhati-hati oke!?


***


"Uh..." Tanpa sadar, kata-kata keluar dari mulutku.


***


Mama harap kamu bisa menemukan 'cinta sejati'.


Dari mama,

yang mencintaimu lebih dari kehidupan itu sendiri.

***


Pertama-tama, kesan yang aku rasakan adalah, 


"Uhh, bukankah dia adalah ibu yang cukup buruk..."

"Apa anda juga berpikir begitu jika dilihat dari sudut pandang seorang putra?" 

Dari ucapannya, sepertinya Juujou-san juga memiliki pemikiran yang serupa dalam batas tertentu.


"Ya, dari lubuk hatiku..." 

... Tapi, yang terlintas kemudian adalah, 

"Ini bisa menjadi awal untuk mengambil alih Grup Hirakawa, bukan?

 "... Mengambil alih terdengar agak berbahaya, namun," dia sedikit tersenyum, lalu melanjutkan, "Tapi, itu tergantung pada keputusan anda, Shinichi-sama." 

Seperti halnya kutu di dalam tubuh singa. 

Ini bukanlah rute yang diberikan oleh ayah, tetapi aku akan masuk ke Hirakawa Group dengan usahaku sendiri, untuk mengambil alih atau merampasnya kembali, ini akan menjadi sebuah pijakan besar. 

Oleh karena itu, jika pernikahan diperlukan.

Jika pernikahan adalah jalan pintas yang tepat. 

Maka jawabannya hanya satu,


"Baiklah, aku mengerti. Aku akan ikut serta dalam Studi Cinta ini!"



0

Post a Comment